squad

squad

Kamis, 09 April 2015

makalah Islam dan korupsi PAI FPIK UB



BAB I
PENDAHULUAN
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
1.1  Latar Belakang
Salah satu penyakit dan ancaman sosial yang sangat laten adalah pencurian dalam berbagai manivestasi dan bentuknya, baik milik pribadi, milik orang lain, maupun milik umum (publik), baik secara langsung maupun melalui jabatan, otoritas dan fasilitas politik dan hukum yang dimilikinya, sehingga seorang pakar menyebut bangsa yang teridap wabah hobi mencuri rame-rame.
Korupsi berasal dari Bahasa Latin, corruptio yang berarti penyuapan. Atau dari kata orrumpere yang bermakna merusak. Korupsi secara epistemologi adalah suatu perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. 
Hukum Islam disyariatkan Allah SWT untuk kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak diwujudkan dengan pensyariatan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas, mencopet, dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah. Larangan menggunakan sebagai taruhan judi dan memberikannya kepada orang lain yang diyakini akan menggunakan dalam berbuat maksiat, karena pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT jadikan kemaslahatan yang dituju dengan tidak tercapai.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1         Bagaimana Perpektif Islam Terhadap Korupsi
1.2.2         Bagaimana Hukum Islam Tentang Korupsi
1.3  Tujuan
1.3.1         Mengetahui Perpektif Islam Tentang Korupsi
1.3.2         Mengetahui Tentang Hukum Islam Terhadap Korupsi



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hubungan antara Agama dan Korupsi
Hukum perbuatan korupsi, menurut pendapat ulama fiqih, secara aklamasi dan konsensus (ijma’) adalah haram karena bertentangan dengan prinsip maqashidusyi syari’ah. Keharaman perbuatan korupsi tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi antara lain sebagai berikut :
1.
Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara (masyarakat). Allah SWT memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu dihindari, seperti pada firman-Nya
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ‌ۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ‌ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
"Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran:161)
2.
Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah SWT dalam Alquran
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَـٰنَـٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27).
3.
Perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya),karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat termasuk masyakarat yang miskin dan buta huruf yang mereka peroleh dengan susah payah. Oleh karena itu, amatlah lalim seorang pejabat yang memperkaya dirinya dari harta masyarakat tersebut, sehinga Allah SWT memasukkan mereka ke dalam golongan yang celaka besar, sebagaimana dalam firman-Nya,     فَوَيۡلٌ۬ لِّلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡ عَذَابِ يَوۡمٍ أَلِيمٍ  
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang lalim yakni siksaan di hari yang pedih." (QS. Az-Zukhruf: 65).
4.
Termasuk ke dalam kategori korupsi, perbuatan memberikan fasilitas negara kepada seseorang karena ia menerima suap dari yang menginginkan fasilitas tersebut. Perbuatan ini oleh Nabi Muhammad saw. disebut laknat seperti dalam sabdanya, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap.” (HR Ahmad bin Hanbal). Pada kesempatan lain Rasulullah saw.bersabda, "Barangsiapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang diambilnya di luar gajinya itu adalah penipuan (haram).” (HR. Abu Dawud).
Dalam literatur Islam tidak terdapat istilah yang sepadan dengan korupsi, namun korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal (ma’shiyat) dalam konteks ghulul(penggelapan), risywah (suap), ghasab (mengambil secara paksa hak/harta orang lain),sariqah (pencurian), dan khiyânah (pengkhianatan).
1.      Ghulul (Penggelapan)
Tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain, seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal (kas perbendaharaan negara), harta milik bersama kaum muslim, harta bersama dalam suatu kerja bisnis, harta negara, dan lain-lain.
2.      Risywah (Suap)
Risywah berasal dari bahasa Arab (رشا يرشو) yaitu upah, hadiah, komisi, atau suap. Secara terminologi, risywah adalah suatu pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim, petugas atau pejabat tertentu dengan tujuan yang diinginkan kedua belah pihak, baik pemberi maupun penerima. Sedangkan menurut istilah risywah berarti: pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah
3.      Ghasab (mengambil secara paksa hak orang lain)
Ghasab berasal dari kata kerja (غصب يغصب غصبا) yang berarti mengambil sesuatu secara paksa dan zalim. Secara istilahi, ghasab dapat diartikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan/terang-terangan. Menurut Dr. Nurul irfan, MA, ghasab adalah mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan unsur pemaksaan dan terkadang dengan kekerasan serta dilakukan dengan cara terang-terangan. Karena ada unsur terang-terangan, maka ghasab berbeda dengan pencurian dimana salah satu unsurnya adalah pengambilan barang secara sembunyi-sembunyi.
4.      Khiyanat (Pengkhianatan)
Kata khianat berasal dari bahasa Arab (خان يخون) yang artinya sikap ingkarnya seseorang saat diberikan kepercayaan. Sedangkan Wahbah Zuhaili mendefinisikan khianat dengan segala sesuatu bersifat melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan di dalamnya.
5.      Sariqah (Pencurian)
Sariqah terbentuk dari kata (سرق يسرق سرقا) yang berarti mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya. Menurut Abdul Qadir Audah, unsur-unsur sariqah terdiri dari mengambil barang secara sembunyi-sembunyi, barang yang diambil berupa harta, harta tersebut milik orang lain, unsur melawan hukum. Sanksi dari jarimah ini telah tercantum secara tersurat dalam dalil Al-Qur’an maupun hadits, dimana dapat dikategorikan ke dalam hukuman hudud yang diancam dengan pidana potong tangan.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah:38)
2.1.1 Korupsi Tidak Sama dengan Mencuri
Para ulama fiqih telah membagi tindak pidana Islam menjadi tiga kelompok yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan dan tindak pidana Takdzir yang hukumannya diserahkan kepada hakim menurut kemaslahatan yang semestinya dan dapat lebih ringan, sama maupun lebih berat dari hukuman hudud bergantung kepada kasus dan kemudaratannya. Tindak pidana korupsi termasuk dalam kategori tindak pidana Takdzir meskipun secara umum ada kesamaan dengan pencurian yang hukuman hudud-nya berupa potong tangan dengan memenuhi kriteria dan ketentuan tertentu. Oleh karena itu, penentuan sanksi hukuman Takdzir korupsi, baik jenis, untuk dan beratnya dipercayakan kepada hakim yang harus tetap mengacu kepada maqashidusy syariah  sehingga dapat memberi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukannya.
Dalam tinjaun fikih, seorang pegawai sebuah perusahaan atau pegawai instansi pemerintahan, ketika  dipilih untuk mengemban sebuah tugas, sesungguhnya dia diberi amanah untuk menjalankan tugas yang telah dibebankan oleh pihak pengguna jasanya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Karena beban amanah ini, dia mendapat imbalan (gaji) atas tugas yang dijalankannya. Ketika ia menyelewengkan harta yang diamanahkan, dan mempergunakannya bukan untuk sesuatu yang telah diatur oleh pengguna jasanya, seperti dipakai untuk kepentingan pribadi atau orang lain dan bukan untuk kemaslahatan yang telah diatur, berarti dia telah berkhianat terhadap amanah yang diembannya.
Dalam syariat, pengkhianatan terhadap harta negara dikenal dengan ghulul. Sekalipun dalam terminologi bahasa Arab, ghulul berarti sikap seorang mujahid yang menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagi.  Hal yang termasuk ghulul adalah menggelapkan harta rakyat umat Islam (harta negara). Abu Bakar berkata, “Aku diberitahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa (aparat) yang mengambil harta negara selain untuk hal yang telah dijelaskan sungguh ia telah berbuat ghulul atau dia telah mencuri”. (HR. Abu Daud. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Untuk kasus korupsi, yang paling tepat adalah bahwa koruptor sama dengan mengkhianati amanah uang/barang yang dititipkan. Karena koruptor dititipi amanah uang/barang oleh negara. Sementara orang yang mengkhianati amanah dengan menggelapkan uang/barang yang dipercayakan kepadanya tidaklah dihukum dengan dipotong tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya“. (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Di antara hikmah Islam membedakan antara hukuman bagi orang yang mengambil harta orang lain dengan cara mencuri dan mengambilnya dengan cara berkhianat adalah bahwa menghindari pencuri adalah suatu hal yang sangat tidak mungkin. Karena dia dapat mengambil harta orang lain yang disimpan dengan perangkat keamanan apapun. Sehingga tidak ada cara lain untuk menghentikan aksinya yang sangat merugikan tersebut melainkan dengan menjatuhkan sanksi yang membuatnya jera dan tidak dapat mengulangi lagi perbuatannya, karena tangannya yang merupakan alat utama untuk mencuri, telah dipotong.
Sementara orang yang mengkhianati amanah uang/barang dapat dihindari dengan tidak menitipkan barang kepadanya. Sehingga merupakan suatu kecerobohan, ketika seseorang memberikan kepercayaan uang/barang berharga kepada orang yang anda tidak ketahui kejujurannya. (Ibnu Qayyim,  I’lamul Muwaqqi’in, jilid II, Hal. 80)
2.2 Hukum Syariah Tentang Korupsi
Jika dilihat dari cara dan dampaknya, koruptor dapat dikategorikan sebagai musuh Allah dan rasul-Nya. Karena korupsi merupakan tindak pengkhianatan, perampasan, penggelapan, suap dan manipulasi. Tindakan seperti ini jelas dilarang oleh Al-Qur’an dan pelakunya secara otomatis akan menjadi musuh Allah SWT dan rasul-Nya.
Ketika melakukan tindakan korupsi, seorang koruptor telah berbuat khianat, tidak saja kepada bangsa dan negara, tapi juga kepada agamanya. Pengkhianat adalah orang yang paling dibenci oleh Allah, karena itu, pada tahap tertentu, seorang pengkhianat dapat dijatuhi hukuman mati. Karena pada hakekatnya koruptor adalah orang yang tertutup mata hatinya (kufur). Salah satu ayat yang menerangkan hal ini adalah: Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (Q.S. at-Taubah/9: 12)
Artinya : Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (Q.S. at-Taubah/9: 12)

Ayat ini menjelaskan tentang pengkhianatan yang dilakukan kaum kafir terhadap janji-janji yang telah mereka ikrarkan. Koruptor adalah pengkhianat janji, mereka melepaskan ikatan janji dan sumpah yang telah mereka ikrarkan pada saat sumpah jabatan. Oleh karena itu, hukuman bagi koruptor, menurut isyarat ayat ini, adalah dibunuh atau diperangi (fa qatilu). Kata fa qatilu berasal dari akar kata qatala-yaqtulu yang berarti membunuh. Dengan sanksi ini para koruptor diharapkan jera sehingga orang lain tidak melakukan hal buruk yang sama. Inilah makna yang tersirat dari kata la‘allahum yantahμn (agar supaya mereka berhenti). Menurut kaidah bahasa, kata la‘alla menunjukkan makna harapan optimistis, sementara kata yantahμn, yang diungkapkan dengan fi‘il mu«ari‘, menyiratkan makna keberlangsungan hingga masa-masa mendatang. Artinya, dengan hukuman mati, korupsi diharapkan dapat berhenti mulai saat ini hingga masa yang akan datang. Lalu ada juga beberapa hukuman yang daijatuhkan kepada Koruptor sebagai berikut:
Pertama, koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi. Zaila’i berkata, “Sanad hadis ini hasan”).
Kedua, hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud.
Kejahatan korupsi serupa dengan mencuri, hanya saja tidak terpenuhi persyaratan untuk dipotong tangannya. Karena itu hukumannya berpindah menjadi ta’zir. Jenis hukuman ta’zir terhadap koruptor diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang) untuk menentukannya. Bisa berupa hukuman fisik, harta, kurungan, moril, dan lain sebagainya, yang dianggap dapat menghentikan keingingan orang untuk berbuat kejahatan. Di antara hukuman fisik adalah hukuman cambuk. Diriwayatkan oleh imam Ahmad bahwa Nabi menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pencuri barang yang kurang nilainya dari 1/4 dinar. Hukuman kurungan (penjara) juga termasuk hukuman fisik. Diriwayatkan bahwa khalifah Utsman bin Affan pernah memenjarakan Dhabi bin Al-Harits karena dia melakukan pencurian yang tidak memenuhi persyaratan potong tangan.
Denda dengan membayar dua kali lipat dari nominal harga barang atau uang negara yang diselewengkannya merupakan hukuman terhadap harta. Sanksi ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya dia harus membayar dua kali lipat”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hukuman ta’zir ini diterapkan karena pencuri harta negara tidak memenuhi syarat untuk dipotong tangannya, disebabkan barang yang dicuri tidak berada dalam hirz(penjagaan selayaknya).

2.2.1 Hukum Memanfaatkan Hasil Korupsi
Istilah memanfaatkan mempunyai arti yang luas, termasuk memakan, mengeluarkannya untuk kepentingan ibadah, sosial. dan sebagainya. Memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan cara-cara ilegallainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya. Jika cara memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama. Dalam hal ini ulama fikih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh dengan cara-cara yangilegal (terlarang) adalah haram, sebab pada prinsipnya harta itu bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang lain yang diperoleh dengan cara yang terlarang. Dasar yang menguatkan pendapat ulama fikih ini antara lain ialah firman Allah.


Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).      Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya mencuri, menipu, dan korupsi.
Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat juga dianalogikan dengan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara riba, karena kedua bentuk perbuatan itu sama-sama ilegal.
Jika memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran: 130), maka memakan harta hasil korupsi pun menjadi haram. Disamping itu ulama memakai kaidah fikih yang menunjukkan keharaman memanfaatkan harta korupsi yaitu, "apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya/ memanfaatkannya”.
Oleh karena itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, selama suatu perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan hasilnya. Berdasarkan hadist tersebut diatas maka menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tidak sah solat dan haji serta ibadah lainnya yang menggunakan harta hasil korupsi. Disamping itu, dalil lain menguatkannya seperti hadist Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR ath-Thabrani) dan sabdanya, “jika seseorang menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai melantunkan seruan Talbiyah, datanglah seruan dari langit, Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu bahagia. Pembekalanmu halal, kendaraanmu halal, maka hajimu diterima dan tidak tercampur dosa. Sebaliknya, jika pergi haji dengan harta yang haram, maka hajimu berdosa dan jauh dari pahala.” (HR ath-Thabrani).  Sebab, ibadah dan kegiatan sosial bukan sebagai sarana penyucian uang haram (Money Laundring) dan bukan sarana pencitraan diri yang korup sebagai manusia suci.
Namun, jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya boleh dimanfaatkan. Selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.







BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah-pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.
Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Jika melihat dari pengertian korupsi diatas, bisa disimpulkan jika korupsi adalah sejenis penghianatan, dalam hal ini adalah penghianatan terhadap rakyat yang telah memberikan amanah dalam mengemban tugas tertentu.
Hukum untuk para koruptor ditentukan dengan Ta’zir, yaitu dimana hakim memutuskan hukuman apa yang setimpal dengan apa yang mereka lakukan. Bisa dengan kurungan (penjara), ganti rugi, hingga hukuman mati. Hukuman itu agar terciptanya rasa jrah dan keadilan bagi masyarakat secara luas




















DAFTAR PUSTAKA


A. Rifai, Rusdy, 2004. Manajemen, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Palembang.

Abu Zahrah, Muhammad, 1994. Ushul Fiqih, terj. Oleh Saefullah Ma’shum, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta.

Adami Chazawi, SH. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,Malang: IKAPI Jatim
Al-Dzahabi, Syamsuddin, 1992. Al-Kabair/75 Dosa Besar, (terj. Oleh M. Ladzi Safrony), Media Idaman Press, Surabaya.
Al-Ghalayayni, Musthafa, 1987. Jamii’u Ad-Duruus Al-‘Arabiyyah, Maktabah Ashriyyah, Beirut.

Al-Qardhawi, Yusuf, 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam (II), Era Intermedia, Solo.

Alfitra, 2012. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Penerbit Raih Asa Sukses, Depok.

Hatta, Ahmad, et. al., 2013. The Great Quran, Referensi Terlengkap Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Maghfirah Pustaka, Jakarta.

Ilyas, Yunahar, 2002. Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta.

Isma’il bin Umar bin Katsir, Abu Al-Fida’, dll. 2010. Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi dan Sejarah Perkembangannya, Materi Pelatihan Hakim dalam Perkara Korupsi, Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) MA- RI, Bogor.

Nurul Irfan, H,M. 2011. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah
Romli, Khomsahrial, 2011. Komunikasi Organisasi, PT. Grasindo, Jakarta.

Rosadisastra, Andi, 2012. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, Amzah, Jakarta.

Sabiq, Sayyid, 1983. Fiqh As-Sunnah; As-Silmu wa al-Harbu- Mu’amalaat, Darul al-Fikr, Beirut.

Shihab, M. Quraish, 2013. Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an, Lentera Hati, Tangerang.

Syafe’i, Rachmat, 2007. Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung. Majalah Al-Muslimun. Siklus Korupsi, Kikis Habis! Bangil, Edisi September 1997, No. 330.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar