BAB I
PENDAHULUAN
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
1.1 Latar
Belakang
Salah satu penyakit dan ancaman sosial yang sangat laten
adalah pencurian dalam berbagai manivestasi dan bentuknya, baik milik pribadi,
milik orang lain, maupun milik umum (publik), baik secara langsung maupun
melalui jabatan, otoritas dan fasilitas politik dan hukum yang dimilikinya,
sehingga seorang pakar menyebut bangsa yang teridap wabah hobi mencuri
rame-rame.
Korupsi berasal
dari Bahasa Latin, corruptio yang berarti penyuapan. Atau
dari kata orrumpere yang bermakna merusak. Korupsi
secara epistemologi adalah suatu perbuatan buruk atau tindakan
menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi
sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain.
Hukum Islam disyariatkan Allah SWT untuk
kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak diwujudkan dengan
pensyariatan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari pemindahan hak
milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas,
mencopet, dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan
yang tidak sah. Larangan menggunakan sebagai taruhan judi dan memberikannya
kepada orang lain yang diyakini akan menggunakan dalam berbuat maksiat, karena
pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT jadikan kemaslahatan
yang dituju dengan tidak tercapai.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana Perpektif Islam Terhadap Korupsi
1.2.2
Bagaimana Hukum Islam Tentang Korupsi
1.3 Tujuan
1.3.1
Mengetahui Perpektif Islam Tentang Korupsi
1.3.2
Mengetahui Tentang Hukum Islam Terhadap
Korupsi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan antara Agama dan Korupsi
Hukum perbuatan korupsi, menurut pendapat ulama fiqih,
secara aklamasi dan konsensus (ijma’) adalah haram karena bertentangan dengan
prinsip maqashidusyi syari’ah. Keharaman perbuatan korupsi tersebut dapat
ditinjau dari berbagai segi antara lain sebagai berikut :
1.
|
Perbuatan korupsi
merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung
merugikan keuangan negara (masyarakat). Allah SWT memberi peringatan agar
kecurangan dan penipuan itu dihindari, seperti pada firman-Nya
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا
غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ ڪُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ
لَا يُظۡلَمُونَ
"Tidak mungkin
seorang Nabi berkhianat dalam urusan rampasan perang. Barangsiapa yang
berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri
akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan)
setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran:161)
|
2.
|
Berkhianat
terhadap amanat adalah perbuatan terlarang
dan berdosa seperti ditegaskan Allah SWT dalam Alquran
يَـٰٓأَيُّہَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ
أَمَـٰنَـٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27).
|
3.
|
Perbuatan korupsi
untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan lalim
(aniaya),karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat
termasuk masyakarat yang miskin dan buta huruf yang mereka peroleh
dengan susah payah. Oleh karena itu, amatlah lalim seorang pejabat
yang memperkaya dirinya dari harta masyarakat tersebut, sehinga Allah SWT
memasukkan mereka ke dalam golongan yang celaka besar, sebagaimana dalam
firman-Nya, فَوَيۡلٌ۬ لِّلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡ عَذَابِ يَوۡمٍ أَلِيمٍ
Kecelakaan besarlah
bagi orang-orang lalim yakni siksaan di hari yang
pedih." (QS. Az-Zukhruf: 65).
|
4.
|
Termasuk ke dalam
kategori korupsi, perbuatan memberikan fasilitas negara kepada seseorang
karena ia menerima suap dari yang menginginkan fasilitas tersebut.
Perbuatan ini oleh Nabi Muhammad saw. disebut laknat seperti dalam
sabdanya, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima
suap.” (HR Ahmad bin Hanbal). Pada kesempatan lain Rasulullah
saw.bersabda, "Barangsiapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu
pekerjaan, lalu kuberi gajinya, maka sesuatu yang diambilnya
di luar gajinya itu adalah penipuan (haram).” (HR. Abu
Dawud).
|
Dalam literatur Islam
tidak terdapat istilah yang sepadan dengan korupsi, namun korupsi dapat dikategorikan
sebagai tindak kriminal (ma’shiyat) dalam konteks ghulul(penggelapan), risywah (suap), ghasab (mengambil
secara paksa hak/harta orang lain),sariqah (pencurian),
dan khiyânah (pengkhianatan).
1.
Ghulul (Penggelapan)
Tindakan curang dan khianat terhadap
harta-harta lain, seperti tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal (kas
perbendaharaan negara), harta milik bersama kaum muslim, harta bersama dalam
suatu kerja bisnis, harta negara, dan lain-lain.
2.
Risywah (Suap)
Risywah berasal dari bahasa Arab (رشا يرشو) yaitu upah,
hadiah, komisi, atau suap. Secara terminologi, risywah adalah suatu
pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim, petugas atau pejabat tertentu
dengan tujuan yang diinginkan kedua belah pihak, baik pemberi maupun penerima. Sedangkan
menurut istilah risywah berarti: pemberian yang bertujuan membatalkan yang
benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah
3.
Ghasab (mengambil
secara paksa hak orang lain)
Ghasab berasal dari kata kerja (غصب يغصب
غصبا) yang berarti mengambil sesuatu secara paksa dan zalim. Secara
istilahi, ghasab dapat diartikan sebagai upaya untuk menguasai hak
orang lain secara permusuhan/terang-terangan. Menurut Dr. Nurul irfan, MA, ghasab adalah
mengambil harta atau menguasai hak orang lain tanpa izin pemiliknya dengan
unsur pemaksaan dan terkadang dengan kekerasan serta dilakukan dengan cara
terang-terangan. Karena ada unsur terang-terangan, maka ghasab berbeda dengan
pencurian dimana salah satu unsurnya adalah pengambilan barang secara
sembunyi-sembunyi.
4.
Khiyanat (Pengkhianatan)
Kata khianat berasal dari bahasa
Arab (خان يخون) yang artinya sikap ingkarnya seseorang saat diberikan
kepercayaan. Sedangkan Wahbah Zuhaili mendefinisikan khianat dengan segala
sesuatu bersifat melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan di
dalamnya.
5.
Sariqah (Pencurian)
Sariqah terbentuk dari kata (سرق يسرق
سرقا) yang berarti mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan
dengan tipu daya. Menurut Abdul Qadir Audah, unsur-unsur sariqah terdiri dari
mengambil barang secara sembunyi-sembunyi, barang yang diambil berupa harta,
harta tersebut milik orang lain, unsur melawan hukum. Sanksi dari jarimah ini
telah tercantum secara tersurat dalam dalil Al-Qur’an maupun hadits, dimana
dapat dikategorikan ke dalam hukuman hudud yang diancam dengan pidana potong
tangan.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Maidah:38)
2.1.1 Korupsi
Tidak Sama dengan Mencuri
Para ulama fiqih telah membagi tindak pidana Islam menjadi
tiga kelompok yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan dan tindak
pidana Takdzir yang hukumannya diserahkan kepada hakim menurut kemaslahatan
yang semestinya dan dapat lebih ringan, sama maupun lebih berat dari hukuman
hudud bergantung kepada kasus dan kemudaratannya. Tindak pidana korupsi
termasuk dalam kategori tindak pidana Takdzir meskipun secara umum ada kesamaan
dengan pencurian yang hukuman hudud-nya berupa potong tangan dengan memenuhi
kriteria dan ketentuan tertentu. Oleh karena itu, penentuan sanksi hukuman
Takdzir korupsi, baik jenis, untuk dan beratnya dipercayakan kepada hakim yang
harus tetap mengacu kepada maqashidusy syariah sehingga dapat
memberi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukannya.
Dalam
tinjaun fikih, seorang pegawai sebuah perusahaan atau pegawai instansi
pemerintahan, ketika dipilih untuk mengemban sebuah tugas,
sesungguhnya dia diberi amanah untuk menjalankan tugas yang telah
dibebankan oleh pihak pengguna jasanya, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Karena beban amanah ini, dia mendapat imbalan (gaji) atas tugas yang
dijalankannya. Ketika ia menyelewengkan harta yang diamanahkan, dan
mempergunakannya bukan untuk sesuatu yang telah diatur oleh pengguna jasanya,
seperti dipakai untuk kepentingan pribadi atau orang lain dan bukan untuk
kemaslahatan yang telah diatur, berarti dia telah berkhianat terhadap amanah
yang diembannya.
Dalam syariat,
pengkhianatan terhadap harta negara dikenal dengan ghulul. Sekalipun dalam
terminologi bahasa Arab, ghulul berarti sikap seorang mujahid yang
menggelapkan harta rampasan perang sebelum dibagi. Hal yang termasuk ghulul adalah
menggelapkan harta rakyat umat Islam (harta negara). Abu Bakar berkata, “Aku
diberitahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa
(aparat) yang mengambil harta negara selain untuk hal yang telah dijelaskan
sungguh ia telah berbuat ghulul atau dia telah mencuri”. (HR. Abu
Daud. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Untuk kasus korupsi, yang paling
tepat adalah bahwa koruptor sama dengan mengkhianati amanah uang/barang yang
dititipkan. Karena koruptor dititipi amanah uang/barang oleh negara. Sementara
orang yang mengkhianati amanah dengan menggelapkan uang/barang yang
dipercayakan kepadanya tidaklah dihukum dengan dipotong tangannya, berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Orang yang mengkhianati
amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya“. (HR.
Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani).
Di antara hikmah Islam membedakan
antara hukuman bagi orang yang mengambil harta orang lain dengan cara mencuri
dan mengambilnya dengan cara berkhianat adalah bahwa menghindari pencuri adalah
suatu hal yang sangat tidak mungkin. Karena dia dapat mengambil harta orang
lain yang disimpan dengan perangkat keamanan apapun. Sehingga tidak ada cara
lain untuk menghentikan aksinya yang sangat merugikan tersebut melainkan dengan
menjatuhkan sanksi yang membuatnya jera dan tidak dapat mengulangi lagi
perbuatannya, karena tangannya yang merupakan alat utama untuk mencuri, telah
dipotong.
Sementara orang yang mengkhianati
amanah uang/barang dapat dihindari dengan tidak menitipkan barang kepadanya.
Sehingga merupakan suatu kecerobohan, ketika seseorang memberikan kepercayaan
uang/barang berharga kepada orang yang anda tidak ketahui kejujurannya. (Ibnu
Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in,
jilid II, Hal. 80)
2.2 Hukum
Syariah Tentang Korupsi
Jika dilihat dari cara dan dampaknya, koruptor dapat
dikategorikan sebagai musuh Allah dan rasul-Nya. Karena korupsi merupakan tindak
pengkhianatan, perampasan, penggelapan, suap dan manipulasi. Tindakan seperti
ini jelas dilarang oleh Al-Qur’an dan pelakunya secara otomatis akan menjadi
musuh Allah SWT dan rasul-Nya.
Ketika melakukan tindakan korupsi, seorang koruptor telah berbuat
khianat, tidak saja kepada bangsa dan negara, tapi juga kepada agamanya.
Pengkhianat adalah orang yang paling dibenci oleh Allah, karena itu, pada tahap
tertentu, seorang pengkhianat dapat dijatuhi hukuman mati. Karena pada hakekatnya
koruptor adalah orang yang tertutup mata hatinya (kufur). Salah satu ayat yang
menerangkan hal ini adalah: Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah
mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin
orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang
tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (Q.S. at-Taubah/9:
12)
Artinya : Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah
mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin
orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang
tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (Q.S. at-Taubah/9:
12)
Ayat ini menjelaskan
tentang pengkhianatan yang dilakukan kaum kafir terhadap janji-janji yang telah
mereka ikrarkan. Koruptor adalah pengkhianat janji, mereka melepaskan ikatan
janji dan sumpah yang telah mereka ikrarkan pada saat sumpah jabatan. Oleh
karena itu, hukuman bagi koruptor, menurut isyarat ayat ini, adalah dibunuh
atau diperangi (fa qatilu). Kata fa qatilu berasal dari akar kata qatala-yaqtulu
yang berarti membunuh. Dengan sanksi ini para koruptor diharapkan jera sehingga orang lain tidak
melakukan hal buruk yang sama. Inilah makna
yang tersirat dari kata la‘allahum
yantahμn (agar supaya mereka berhenti). Menurut kaidah bahasa, kata la‘alla
menunjukkan makna harapan optimistis, sementara kata yantahμn, yang
diungkapkan dengan fi‘il mu«ari‘, menyiratkan makna
keberlangsungan hingga masa-masa mendatang. Artinya, dengan hukuman mati,
korupsi diharapkan dapat berhenti mulai saat ini hingga masa
yang akan datang. Lalu ada juga beberapa hukuman yang
daijatuhkan kepada Koruptor sebagai berikut:
Pertama, koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun
telah habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan
sisa yang belum dibayar akan menjadi hutang selamanya.
Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap
tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya
hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya“. (HR. Tirmidzi. Zaila’i
berkata, “Sanad hadis ini hasan”).
Kedua, hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang
dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan
oleh Allah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan
hukuman hudud.
Kejahatan korupsi serupa dengan mencuri, hanya saja tidak terpenuhi
persyaratan untuk dipotong tangannya. Karena itu hukumannya berpindah
menjadi ta’zir. Jenis hukuman ta’zir terhadap koruptor diserahkan
kepada ulil amri (pihak
yang berwenang) untuk menentukannya. Bisa berupa hukuman fisik, harta,
kurungan, moril, dan lain sebagainya, yang dianggap dapat menghentikan keingingan
orang untuk berbuat kejahatan. Di antara hukuman fisik adalah hukuman cambuk. Diriwayatkan
oleh imam Ahmad bahwa Nabi menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pencuri barang
yang kurang nilainya dari 1/4 dinar. Hukuman kurungan (penjara) juga termasuk
hukuman fisik. Diriwayatkan bahwa khalifah Utsman bin Affan pernah memenjarakan
Dhabi bin Al-Harits karena dia melakukan pencurian yang tidak memenuhi
persyaratan potong tangan.
Denda dengan membayar dua kali lipat dari nominal
harga barang atau uang negara yang diselewengkannya merupakan hukuman terhadap
harta. Sanksi ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap “Pencuri buah kurma dari pohonnya lalu dibawa pergi, hukumannya dia
harus membayar dua kali lipat”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hukuman ta’zir ini
diterapkan karena pencuri harta negara tidak memenuhi syarat untuk dipotong
tangannya, disebabkan barang yang dicuri tidak berada dalam hirz(penjagaan selayaknya).
2.2.1
Hukum Memanfaatkan Hasil Korupsi
Istilah
memanfaatkan mempunyai arti yang luas, termasuk memakan, mengeluarkannya untuk
kepentingan ibadah, sosial. dan sebagainya. Memanfaatkan harta kekayaan
yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan
harta yang dihasilkan dengan cara-cara ilegallainnya, karena harta yang
dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi,
dan sebagainya. Jika cara memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya
pun sama. Dalam hal ini ulama fikih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang
diperoleh dengan cara-cara yangilegal (terlarang) adalah haram, sebab pada
prinsipnya harta itu bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang lain
yang diperoleh dengan cara yang terlarang. Dasar yang menguatkan pendapat ulama
fikih ini antara lain ialah firman Allah.
Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu
memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). Pada ayat ini terdapat larangan memakan
harta orang lain yang diperoleh dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya
mencuri, menipu, dan korupsi.
Harta kekayaan
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat juga dianalogikan dengan harta
kekayaan yang diperoleh dengan cara riba, karena kedua bentuk perbuatan itu
sama-sama ilegal.
Jika memakan
harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran: 130), maka
memakan harta hasil korupsi pun menjadi haram. Disamping itu ulama memakai
kaidah fikih yang menunjukkan keharaman memanfaatkan harta korupsi yaitu,
"apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya/ memanfaatkannya”.
Oleh karena itu,
seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, selama suatu
perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan
hasilnya. Berdasarkan hadist tersebut
diatas maka menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tidak sah solat dan haji serta
ibadah lainnya yang menggunakan harta hasil korupsi. Disamping itu, dalil lain
menguatkannya seperti hadist Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak
menerima kecuali yang baik.” (HR ath-Thabrani) dan sabdanya, “jika seseorang
menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai
melantunkan seruan Talbiyah, datanglah seruan dari langit, Allah akan menyambut
dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu bahagia. Pembekalanmu halal,
kendaraanmu halal, maka hajimu diterima dan tidak tercampur dosa. Sebaliknya,
jika pergi haji dengan harta yang haram, maka hajimu berdosa dan jauh dari
pahala.” (HR ath-Thabrani). Sebab, ibadah dan kegiatan sosial bukan
sebagai sarana penyucian uang haram (Money Laundring) dan bukan sarana pencitraan
diri yang korup sebagai manusia suci.
Namun, jika
perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya boleh dimanfaatkan.
Selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula
pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam arti yang luas,
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah-pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.
Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri,
dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Jika melihat dari
pengertian korupsi diatas, bisa disimpulkan jika korupsi adalah sejenis
penghianatan, dalam hal ini adalah penghianatan terhadap rakyat yang telah
memberikan amanah dalam mengemban tugas tertentu.
Hukum untuk para
koruptor ditentukan dengan Ta’zir, yaitu dimana hakim memutuskan hukuman apa
yang setimpal dengan apa yang mereka lakukan. Bisa dengan kurungan (penjara),
ganti rugi, hingga hukuman mati. Hukuman itu agar terciptanya rasa jrah dan
keadilan bagi masyarakat secara luas
DAFTAR PUSTAKA
A. Rifai, Rusdy, 2004. Manajemen, Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP), Palembang.
Abu Zahrah, Muhammad, 1994. Ushul Fiqih, terj. Oleh
Saefullah Ma’shum, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta.
Adami Chazawi, SH.
2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,Malang: IKAPI
Jatim
Al-Dzahabi, Syamsuddin, 1992. Al-Kabair/75
Dosa Besar, (terj. Oleh M. Ladzi Safrony), Media Idaman Press, Surabaya.
Al-Ghalayayni, Musthafa, 1987. Jamii’u Ad-Duruus Al-‘Arabiyyah,
Maktabah Ashriyyah, Beirut.
Al-Qardhawi, Yusuf, 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam
(II), Era Intermedia, Solo.
Alfitra, 2012. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata
dan Korupsi di Indonesia, Penerbit Raih Asa Sukses, Depok.
Hatta, Ahmad, et. al., 2013. The Great Quran, Referensi
Terlengkap Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Maghfirah Pustaka, Jakarta.
Ilyas, Yunahar, 2002. Kuliah Akhlaq, Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta.
Isma’il bin Umar bin Katsir, Abu Al-Fida’, dll. 2010. Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi dan Sejarah
Perkembangannya, Materi Pelatihan Hakim dalam Perkara Korupsi, Pusat
Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) MA- RI, Bogor.
Nurul Irfan, H,M. 2011. Korupsi dalam Hukum
Pidana Islam, Jakarta: Amzah
Romli, Khomsahrial, 2011. Komunikasi Organisasi, PT.
Grasindo, Jakarta.
Rosadisastra, Andi, 2012. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan
Sosial, Amzah, Jakarta.
Sabiq, Sayyid, 1983. Fiqh As-Sunnah; As-Silmu wa al-Harbu-
Mu’amalaat, Darul al-Fikr, Beirut.
Shihab, M. Quraish, 2013. Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan dan
Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an, Lentera
Hati, Tangerang.
Syafe’i, Rachmat, 2007. Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia,
Bandung. Majalah Al-Muslimun. Siklus Korupsi, Kikis Habis! Bangil, Edisi
September 1997, No. 330.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar