squad

squad

Senin, 29 Februari 2016

pemupukan perairan




1.      PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang (Siska Dwi satya)
Menurut Soetomo (2002) dalam Kurniawan dan Kusnandar (2015), ada beberapa factor penting untuk mencapai keberhasilan budidaya tambak. Salah satu factor penting tersebut adalah pemupukan. Pemupukan tambak merupakan faktor penting untuk mencapai keberhasilan budidaya tambak. Hal ini mengingat daya kemampuan tanah tambak yang terbatas dalam mempertahankan kesuburannya, yang mengakibatkan suburnya makanan alami terutama berupa klekap, lumut yang tumbuh pada pelataran tambak maupun yang hidup dalam air sebagai plankton. Kemerosotan kesuburan tanah disebabkan oleh kesalahan pengelolaan yang tidak memberikan imbangan bagi kelestarian kesuburan tanah.
Menurut Pratiwi et al. (2010), tujuan utama diterapkannya pemupukan di kolam adalah untuk mempertahankan ketersediaan unsur hara yang optimal bagi keberlangsungan produksi biologi dalam air. Dalam hal ini unsure hara sangat penting untuk mengoptimalkan kualitas air. Aplikasi pemupukan yang sebaiknya dilakukan adalah dengan menetapkan dosis pupuk sesuai dengan warna air kolam. Kondisi ekologi setiap kolam menggambarkan pengaruh pemupukan terhadap produktivitasnya. Jadi dosis maupun proses pemupukan akan disesuaikan dengan keadaan produktivitas perairan atau dalam bentuk warna perairan.
Pemupukan dilakukan setelah usai pengeringan dan rehabilitasi kolam atau menjelang diisi air. Macam pupuk yang lazim digunakan adalah pupuk organik, berupa pupuk kandang dan pupuk hijau. Cara pemupukan dilakukan dengan menimbun onggokan pupuk di berbagai sisi kolam, terutama di atas permukaan pelataran kolam. Pada kolam-kolam yang sirkulasi airnya lancar, pupuk sebaiknya digundukkan di beberapa tempat. Sebaliknya, pada kolam yang sirkulasi airnya terhambat, pupuk sebaiknya digundukkan dalam onggokan kecil-kecil. Jadi banyaknya pupuk  akan disesuaikan dengan jenis kolam. (Djarijah, 2001).
Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), Pemupukan yang tinggi akan mengakibatkan adanya polusi baik dalam lingkungan tanah maupun perairan di sekitarnya. Kelembapan udara dan tanah menjadi lebih baik, maka kehidupan fauna dan flora menjadi lebih baik juga. Aktivitas mikroba yang patogen pun menjadi lebih tinggi, demikian juga gulma. Maka dosis harus disesuaikan sehingga tidak terjadi polusi perairan. Jika dosis yang diberikan sesuai akan terjadi keseimbangan pada flora dan fauna di perairan.
Kesuburan perairan menjadi fakor utama dalam kegiatan budidaya di kolam atau tambak. Kesuburan perairan dapat dilihat dari faktor fisika, kimia, dan biologi. Kesuburan perairan dapat dijaga dengan pemberian pupuk yang sesuai untuk mempertahankan ketersediaan unsur hara yang optimal bagi keberlangsungan produksi biologi dalam air. Pemupukan dapat dilakukan setelah proses rehabilitasi dan difusi air dalam kolam. Pemberian pupuk akan disesuaikan dengan jenis kolam maupun tingkat produktivitanya. Jika jumlah pupuk yang diberikan berlebihan dapat menyebabkan polusi udara.
1.2.  Maksud dan Tujuan
Maksud dari praktikum Pemupukan dan Kesuburan Perairan adalah agar praktikkan dapat mengetahui bagaimana cara membuat pupuk, perhitungan rasio C/N, cara mengukur parameter kualitas perairan, dan menganalisa tingkat kesuburan perairan berdasarkan data pengukuran serta hubungan antar parameter.
Tujuan dari praktikum Pemupukan dan Kesuburan Perairan adalah agar praktikkan dapat melakukan pembuatan pupuk, melakukan pengukuran parameter kualitas air baik itu parameter fisika, kimia maupun biologi.
1.3.  WaktudanTempat
            Praktikum Pemupukan dan Kesuburan Perairan dilakukan pada tanggal 5 s/d 26 Maret 2016 di Laboratorium Unit Pelaksana Teknis Perikanan Air Tawar Sumber Pasir dan Laboratorium Reproduksi Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang.










2.      TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembuatan Pupuk
2.1.1Pengertian Pupuk (Handian, Husna Nabilla)
Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), pupuk adalah suatu bahan yang digunakan untuk mengubah sifat fisik , kimia, atau biologi tanah sehingga menjadi lebih baik bagi pertumbuhan tanaman. Termasuk dalam pengertian ini adalah pemberian bahan kapur dengan maksud untuk meningkatkan pH tanah yang asam, pemberian legin bersama benih tanaman kacang-kacangan, dan pemberian benah tanah (soil conditioner) untuk memperbaiki sifat fisik tanah. Demikian pula, pemberian urea dalam tanah yang miskin akan meningkatkan kadar N dalam tanah tersebut. Semua usaha tersebut dinamakan pemupukan. Dengan demikian, bahan kapur, legin, pembenah tanah, dan urea disebut pupuk. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesuburan pupuk dapat dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi.
Menurut Hadisuwito (2007), pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Penggolongan pupuk umurnya didasarkan pada sumber bahan yang digunakan, cara aplikasi, bentuk dan kandung an unsur harganya. Berdasarkan bentuknya, pupuk organic dibagi dua yakni pupuk cair dan padat. Sedangkan menurut sumber bahan yang digunakan pupuk dibagi menjadi pupuk organik dan anorganik. Dalam pupuk organik, bahan-bahan organik akan mengalami suatu proses pembusukan yang dilakukan oleh mikroorganisme yang menyebabkan sifat fisiknya akan berubah dari semula. Dengan penambahan pupuk ke dalam tanah dalam bentuk organik maupun anorganik dapat membantu meningkatkan kandungan unsur hara tanah.
2.1.2Macam-macam Pupuk (Mila dan Rana)
          Menurut Wianta (1983), pupuk yang dapat memberikan unsur-unsur yang diperlukan tanaman dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:
a.       Pupuk Organik atau pupuk alam, yaitu pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik, misalnya kotoran hewan, sisa-sisa daun, sampah dan lain sebagainya. Contoh pupuk organik yaitu kotoran kuda, kotoran sapi, kotoran domba, kotoran babi, kotoran ayam, kompos sampah dan pupuk hijau. Pupuk organic merupakan pupuk yang berasal dari alam. Pupuk ini cenderung lebih ramah lingkungan jika dibanding dengan pupuk anorganik.
b.      Pupuk Anorganik atau pupuk buatan yaitu pupuk yang dibuat dari bahan-bahan anorganik. Contoh pupuk anorganik yaitu urea, ZA, Sendawa chili, ES, DS, TSP, FMP, ZK 90, ZK 96, KCl 80, KCl 90, Amofos, Complesal, Kalium nitrat, Nitrapo, Kalium metafosfat, Monokalium fosfat, Rustica blue, Rustica yellow, Rustica red, Amofoska, Nitrofoska A, Gandail D, Gandasil B, Dekastar dan Sandoflor. Pupuk anorganik merupakan pupuk buatan pabrik. Dalam penggunaannya harus sesuai dengan dosis atau tidak berlebihan karena bersifat kurang ramah lingkungan.
            Menurut Sudarmono (1997), pupuk dapat diberikan kepada tanaman dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni pupuk alam dan pupuk buatan.
a.       Pupuk alam
Pupuk alam disebut juga pupuk organik, yakni pupuk yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Termasuk pupuk organik adalah pupuk kandang, pupuk kompos, guano dan tepung tulang. Pupuk alam sering disebut dengan pupuk organic yang bersifat lebih ramah lingkungan. Dalam penggunaannya pupuk ini cenderung tidak mencemari lingkungan.
b.      Pupuk buatan
Pupuk buatan disebut juga pupuk anorganik atau pupuk kimia (pupuk pabrik), pupuk yang dibuat dari bahan-bahan anorganik atau senyawa kimia yang dibua oleh pabrik. Pupuk buatan ini dapat memberi unsur hara dalam jumlah banyak. Pupuk ini memiliki kelebihan dibanding pupuk alami karena menyumbangkan lebih banyak unsur hara. Akan tetapi, dalam penggunaan yang berlebih dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
2.1.3 Kandungan pupuk  (Bella foresy dan ayu retno)
Ada beberapa persyaratan teknis yang harus diperhatikan berdasarkan standarisasi dalam pembuatan pupuk organik granul.  Hal tersebut diantaranya adalah rasio C/N, kandungan bahan ikutan, kandungan unsur makro, kandungan unsur mikro, kandungan bakteri patogen, kandungan organik dan kandungan kadar air. Kandungan unsur makro C organik dalam pupuk organik granul akan memberikan indikasi besarnya total material organic. Kandungan unsur hara makro adalah komponen yang paling banyak dibutuhkan oleh tanaman. Sehingga semakin banyak unsur hara makro C maka semakin tinggi pula bahan organiknya, begitu pula dengan unsur N P K. Jika jumlah unsur hara makro tersebut tinggi dalam pupuk maka akan berdampak baik terhadap tanaman air (Wahyono et al., 2011).
Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak yang sudah melalui proses fermentasi , baik dari jenis mamalia maupun unggas. Kandungan hara pada setiap pupuk kandang berbeda, tergantungpada jenis hewannya. Kandungan / komposisi unsur hara berbagai pupuk kandang disajikan dalam tabel sebagai berikut.
No
Jenis Pupuk Kandang
Kandungan Unsur Hara (%)
Nitrogen
P2O5
K2O
1
Sapi/ Kuda
0,5
0,2
0,5
2
Domba/ kambing
0,7
0,2
0,7
3
Ayam/ unggas
1,5
1,5
0,8
Pupuk terdiri dari dua jenis yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik.  Pupuk organik yang sering digunakan adalah pupuk kandang dan kompos. Sedangkan pupuk anorganik yanng digunakan adalah urea yang mengandung45-46% N, TSP yang mengandung 43-49% P, dan KCL yang mengandung 48-54% K. Dalam pembuatan pupuk harus mengandung  unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro yang dibutuhkan adalah karbon (C), oksigen (O), hidrogen (H), nitrogen (N), fosfor (P), potassium, kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan sulfur (S). Sementara itu unsur hara mikronya adalah baron (B), klor (Cl), tembaga(Cu), mangan (Mn), molibdenum (Mo), kobalt(Co), seng (Zn), dan besi (Fe) (Supriati dan Ersi, 2010).
2.2. Rasio C/N
2.2.1PengertianRasio C/N (Nida’ul dan Attaibatus)
          C/N rasio merupakan perbandingan antara unsur kabron dan nitrogen. C/N rasio dalam proses pengomposan menentukan kecepatan penguraian sampah organik. C/N rasio yang terlalu tinggi akan menghambat laju proses dekomposisi. Dalam pembuatan pupuk perbandingan kedua unsur  ini harus berimbang. Hal ini disebabkan rasio antara keduanya akan mempengaruhi proses penguraian sampah yang akan diproses menjadi pupuk. Perbandingan C/N yang tidak seimbang akan menyebabkan menurunnya kefektifan fungsi pupuk  (Mulyono, 2014).
          Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang terdapat pada bahan organik dinyatakan dalam terminolog rasio karbon/nitrogen (C/N). Apabila rasio C/N sangat tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metan sampai batas persyaratan protein dan tak lama bereaksi kearah kiri pada kandungan karbon pada bahan. Sebagai akibatnya produksi metan akan menjadi rendah. Sebaliknya apabila rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan berakumulasi dengan amoniak (NH4). NH4 akan meningkatkan derajat pH bahan dalam digester. pH lebih tinggi dari 8,5 akan menunjukkan akibat racun terhadap populasi gas metan. Maka dari itu rasio C/N dalam bahan organic haruslah seimbang, sehingga bahan oranik tersebut dapat menjadi pupuk dengan kualitas yang baik (Wahyuni, 2013).
2.2.2Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku pada Pupuk (Ida dan Kholid)
Proses pengomposan sangat dipengaruhi oleh beberapa factor. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah nilai perbandingan (nisbah) C/N saat awal pengomposan dan tingkat aerasi. Nilai C/N kompos (produk) yang semakin besar menunjukkan bahwa bahan organik belum terdekomposisi sempurna. Sebaliknya nilai C/N kompos yang semakin rendah menunjukkan bahwa bahan organik sudah terdekomposisi dan hampir menjadi kompos. Faktor- factor pengomposan tersebut perlu diperhatikan agar terjadi proses dekomposisi sempurna. Karena jika rasio C/N dalam pupuk terlalu tinggi dapat menghambat proses dekomposisi (Ismayana et al., 2012).
            Kandungan atau kadar C/N dalam pupuk akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme di dalamnya. Jika rasio C/N tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Maka dari itu diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk mendegradasi kompos sehingga diperlukan waktu yang lama untuk pengomposan dan dihasilkan mutu yang lebih rendah. Sedangkan jika rasio C/N terlalu rendah kelebihan nitrogen yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi. Selanjutnya, akan hilang melalui volatisasi sebagai amoniak atau terdenitrifikasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kadar C/N di dalam pupuk  harus optimal. Jika kadarnya terlalu rendah kualitas pupuk menjadi rendah dan jika terlalu tinggi akan mengalami proses denitrifikasi (Djuarnani, 2005 dalam Widarti etal., 2015).
2.3. Persiapan Kolam
2.3.1 Tahapan Persiapan Kolam (Ifa dan Anisa Tyas)
Kolam kontrol dan kolam perlakuan sebelum digunakan dicangkul dan dibalik tanah sedimennya. Patok bambu selanjutnya dipasang dengan kepadatan 12 batang bambu berdiameter 7 cm ditanam. Dasar kolam dikapur sebanyak 1 kg/m2  dan dipupuk dengan pupuk kandang sebanyak 2x25 kg/kolam. Selanjutnya kolam diisi air yang berasal dari saluran air tersier dan suspensi mikroorganisme unggulan. Selama 7 hari air dibiarkantergenang tanpa air masuk maupun keluar.Dalam persiapan kolam yang harus dilakukan adalah membersihkan bagian kolam mulai dari pematang hingga dalam bagian kolam. Kotoran yang umumnya bahan-bahan organik yang merupakan sisa tumbuhan dan rumput liar yang awalnya adalah bekas hutan gambut maka membersihkannya dengan mesin pemotong atau parang agar terhindar dari bersarangnya hama seperti contoh ular, katak dan lain sebagainya yang dapat mengganggu organisme. Pada permukaan air sering terdapat potongan kayu dan akar pohon yang sudah lapuk sehinnga mengapung di atas air sebaiknya dibersihkan dengan serok lalu dibakar (Yuhana et al., 2011).
Menurut Basahudin (2009), untuk mendapatkan hasil yang maksimal untuk budidaya ikan lele, kolam harus disiapkan terlebih dahulu. Persiapan ini terdiri dari pengeringan, perbaikan pematang, pengolahan tanah dasar, pembuatan kemalir, pengapuran, pemupukan dan pengaliran air. Sebelum dipergunakan kolam beton harus dibersihkan dari lumpur dan segala kotoran yang menempel di kolam. Tujuannya adalah untuk membunuh bibit bakteri yang menempel pada dinding dan  kolam. Kemudian dicuci hamakan dengan cara dikapur dengam larutan PK. Kolam dikeringkan beberapa hari. Pengisian air dilakukan minimal 1-2 hari sebelum penebaran.
2.3.2Macam-macam Kolam Budidaya (Nydia ivana dan ika widiastuti)
Menurut Bachtiar (2010), ada 3 jenis kolam yang digunakan dalam budidaya, yaitu:
1.    Kolam Tanah
Pembuatan kolam tanah lebih murah dari kolam semen. Pembuatan kolam tanah tidak memerlukan biaya yang banyak. Tanah hasil penggalian pun tak perludibuang, teteapi untuk pembuatan tanggul disekeliling kolam.
2.    Kolam Semen
Kolam semen lebih permanen dan tampak rapi. Namun biaya yang harus dikeluarkan
untuk membuat kolam semen lebih mahal dibandingkan dengan kolam tanah dan kolam plastic (terpal). Untuk membuat kolam semen dibutuhkan semen dan batu bata dengan jumlah yang relative banyak.
3.    Kolam Plastik (Terpal)
Dibuat menggunakan terpal dan diletakkan pada tanah yang sesuai atau ditegakan dengan menggunakan potongan – potongan bambu. Kelebihan kolam terpal yakni biaya pembuatan murah, dan kelemahannya tidak seawet pola kolam tembok dan ukurannya terbatas. Kolam terpal dibagi menjadi 2,yakni diatas tanah yang digali terlebih dahulu dan diatas tanah tanpa digali terlebih dahulu.
Kolam dapat diklasifikasikan menurut metode kontruksi kolam dapat dibagi menjadi :kolam aliran sungai, kolam galian, dan kolam tanggul. Kolam aliran sungai dibentuk dengan membangun bendungan di aliran air dimana topografi memungkinkan air dapat disimpan tepat di belakang bendungan. Bendungan biasanya dibangun antara dua bukit yang menyempit. Kolam aliran sungai dapat menyimpan aliran air tanah atau beberapa kombinasi dari aliran tanah, aliran sungai dan aliran tanah lainnya. Kolam galian dibuat dengan menggali lubang pada tanah, kolam tersebut mungkin diisi oleh air tanah yamg dekat dengan permukaan tanah atau dengan air sumur. Kolam tanggul berisi air yang dikelilingi oleh tanggul. Kolam tanggul tersebut dapat diisi oleh air dari sumur, air dari waduk serba guna, sungai dan muara. Secara hidrologis, kolam dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Misalnya kolam statis dengan pertukaran air sedikit atau kolam aliran mengalir, dimana terjadi pertukaran air secara teratur (Egna and Boyd, 1997)
2.4. Pengapuran
2.4.1Pengertian dan Fungsi Pengapuran (Ajiza dan Vella)
Menurut Arie dan Dejee (2013), pengapuran merupakan kegiatan yang dilakukan pada saat persiapan kolam. Kegiatan tersebut biasanya berlangsung seusai proses pemanenan selesai. Pengapuran kolam dilakukan dengan memberikan jenis kapur tertentu, misalnya kapur aktif atau kapur tohor (CaO). Pemberian kapur pada kolam diberikan dengan dosis tertentu antara 100-200 g/m2. Kegiatan pengapuran dilakukan dengan tujuan untuk menstabilkan pH (derajat keasaman), meningkatkan alkalinitas. Selain itu, pengapuran dapat memberantas hama dan penyakit yang tertinggal pada pemeliharaan sebelumnya.
            Menurut Thunjai et al. (2004) dalam Hasibuan et al. (2012),pengapuran merupakan cara sederhana dalam mengatasi masalah budidaya terutama menetralisir kemasaman dan meningkatkan kesadahan. Sehingga produktivitas kolam ikan meningkat. Kandungan kalsium dan magnesium dalam kapur dapat diabsorbsi oleh biota akuatik, diabsorbsi oleh tanah atau terlarut dalam air kolam. Pemberian kapur CaCO3 berpengaruh terhadap kadar C organik tanah dasar kolam. Dengan kata lain pemberian kapur dapat mempercepat pembongkaran bahan-bahan organik. Sehingga secara liniar pemberian kapur mampu membunuh hama, parasit, dan penyakit ikan.
2.4.2 Dosis Pengapuran (Halimatus dan zami)
Menurut Mustafa (2010), penambahan dosis kapur awal dapat juga meningkatkan tambak di Kabupaten Mamuju. Rata – rata pembudidaya tambak di Kabupaten Mamuju hanya mengaplikasikan kapur awal dengan dosis 57,72 kg/ha/musim dan bahkan ada yang tidak mengaplikasikan kapur sama sekali. Dengan pengapuran dapat memperbaiki kualitas tanah berupa peningkatan pH dan penurunan unsur toksik. Jika tanah tambak terlalu asam dan tidak dilakukan penangan serius dapat resiko terhadap penyakit tinggi. Daya tahan tubuh ikan terhadap keasaman berbeda- beda dan dapat mengakibatkan kematian. Selain itu, penipisan oksigen terlarut disebabkan terikat oleh mineral. Jadi pengapuran dapat menstabilkan pH perairan agar kualitas tanah tidak terlalu asam.
Pengapuran berguna untuk memperbaiki keasaman (pH) tanah dasar kolam. Tanah yang ber-pH rendah dapat menyebabkan rendahnya pH air kolam. Oleh karena itu, perbaikan pH air kolam harus dimulai dari perbaikan pH tanah dasar kolam. Selain itu untuk memperbaiki keasaman dasar kolam, kapur  juga berfungsi sebagai desinfektan dan peyedia unsur hara (fosfor) yang dibutuhkan fitoplankton. Hal ini karena fitoplankton adalah dasar dari suatu rantai makanan. Tanah dasar kolam yang mengandung pirit harus direklamasi terlebih dahulu selama kurang lebih 4 bulan sebelum diberi kapur sejumlah 2-2,5 ton/ha (Suyanto et al. 2009 dalam Pratiwi et al., 2012).
2.5. Pemupukan
2.5.1 Pengertian dan Fungsi Pemupukan (Prive dan M ridho)
Pemupukan merupakan salah satu cara untuk menambahkan hara ke dalam tanah. Sehingga akan tersedia unsur hara bagi tanaman. Pemupukan tidak hanya dapat meningkatkan hasil panen, tetapi juga mempengaruhi kesesuaian tanaman untuk perkembangan hama, walaupun tergantung pada jenis pupuk dan spesies hama. Pemupukan adalah penambahan zat hara yang diperlukan tanaman untuk kelangsungan hidupnya. Jenis pupuk yang dapat digunakan diantaranya pupuk kompos, pupuk kimia, atau pupuk buatan. Pemupukan bertujuan untuk menjaga tetap terpeliharanya keseim-bangan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. dan untuk meningkatkan pertu-buhan dan hasil tanaman (Difonzo dan Hines, 2002 dalam Hendrival et al., 2014).
            Efek utama dari pemupukan adalah untuk meningkatkan produktivitas perairan. Dengan dilakukannya pemupukan  dapat menumbuhkan makanan alami pada tambak. Beberapa nutrisi yang terkandung dalam biomass produsen utama melewati jaring makanan dan terkandung dalam spesies budidaya. Tentunya dengan dilakukannya pemupukan akan memperlancar proses yang terjadi di dalam jaring makanan. Jika dasar dari jaring makanan tidak tercukupi, akan mengganggu tingkatan organism yang ada di atasnya. Oleh karena itu, efisiensi pemulihan gizi dalam budidaya pada musim panen mengindikasika efisiensi dosis pemupukan dan dosis pemberian pakan pada budidaya (Mischke, 2012).
2.5.2 Dosis Pemupukan ( Okta dan anisa salsa)
Menurut Fuady et al. (2013), pemupukan dan pengapuran merupakan salah satu aplikasi pengelolaan kualitas air yang sangat berperan dalam meningkatkan nilai parameter kualitas air. Pemupukan pada kolam dilakukan 2-3 hari sebelum penebaran. Pupuk yang digunakan adalah pupuk komersil seperti urea, TSP, dan KCl. Masing-masing pupuk diberikan dengan dosis sebesar 20 kg tiap petakan tambak. Pupuk digunakan sebagai nutrien plankton sehingga kebutuhan plankton akan unsur hara terpenuhi. Sehingga pemupukan pada tambak merupakan salah satu faktor yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Apabila tanah tambak subur, maka akan banyak pakan alami yang tumbuh sehingga dapat mengurangi biaya pakan.
Menurut Setyawati (2012) dalam Dahlia et al. (2015), pemupukan pada tambak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup organisme didalamnya. Dalam penelitian Setiawati (2012) dalam Dahlia et al. (2015), konsentrasi dosis pupuk cair organik super bionik 50 ml/l menghasilkan pertumbuhan terbaik bagi rumput laut Gracilaria sp, dimana laju pertumbuhan harian 18,5%/hari. Dosis pupuk tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan C. lentillifera yang di pelihara pada substrat lumpur berpasir hal ini diduga karena adanya pengaruh dari unsur hara yang terdapat dalam substrat. Sehingga dapat disimpulkan pemberian pupuk yang berlebihan juga tidak bagus bagi pertumbuhan biota air didalamnya. Karena pemberian pupuk yang berlebihan juga dapat menghambat pertumbuhan organisme air. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pemberian pupuk optimal bagi pertumbuhan biota air pada tambak atau kolam intensif.

2.6. Kualitas Air
2.6.1 OksigenTerlarut (DO) (adin)
Menurut Mandal et al. (2012), oksigen yang terlarut adalah penting bagi organisme aerobic yang hidup di ekosistem akuatik, kegiatan metabolik, index kualitas air dan trophodynamics. Volume DO di dalam air akan bergantung pada proses pengaadukan air, Masuknya udara dai atmosfer kedalam perairan melalui proses difusi, dan kegiatan biologi. Proses yang dilakukan organisme perairan untuk menjaga keseimbangan oksigen di perairan (fotosintesis oleh fitoplankton dan macrophytes) dan proses menggunakan oksigen (pernafasanyang dilakukan oleh fitoplankton, macrophytes, zooplankton dan organisme lainnya dari tingkat trophic lebih tinggi hinnga tropic rendah). Terlebih lagi dengan adanya proses oksidasi kimia, keperluaan sedimen akan oksigen karena bakteri di dalamnya, kebutuhan oksigen di dalam kolom perairan yang terkait dengan kadar mineral organic. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi atau menentukan jumlah oksigen terlarut di dalam perairan. Faktor tersebut diantaranya adalah pertukaran udara melalui atmosfer (re-aerasi dan degassing) dan proses hidrodinamik (pasang surut dan kecepatan angin).
Konsentrasi oksigen terlarut dalam tambak dipengaruhi oleh proses yang sama yang beroperasi di perairan lainnya: oksigen ditransfer ke dan dari air tergantung pada tekanan parsial oksigen di dalam air relatif terhadap tekanan parsial di udara, respirasi menghilangkan oksigen, dan fotosintesis menambahkan oksigen. Perbedaan utama antara tambak, dan sebagian besar air permukaan lainnya adalah bahwa biomassa bakteri, tumbuhan, dan hewan jauh lebih besar di tambak. Dengan demikian, proses biologis cenderung mendominasi anggaran oksigen terlarut dari tambak, sedangkan transfer gas antara udara dan air biasanya lebih penting di permukaan air kurang subur. Aktivitas biologis yang tinggi di beberapa tambak dapat menyebabkan siklus harian diucapkan dalam konsentrasi oksigen terlarut, dengan kondisi sangat jenuh di sore hari dan sangat dalam kondisi jenuh di malam hari. Cukup sering, aerasi mekanik diperlukan untuk menambah pasokan alami oksigen terlarut sehingga konsentrasi yang tidak menurun ke tingkat yang terlalu stres atau mematikan untuk hewan bawah budaya (Boyd and Tucker, 1951).
2.6.2Karbondioksida (ika febri)
Menurut Purba dan Khan (2010), karbondioksida yang terdapat di perairan merupakan proses difusi CO2 dari udara dan hasil respirasi organisme akuatik. Selain itu, didasar perairan CO2 juga dihasilkan dari proses dekomposisi bahan-bahan organik. Karbondioksida bebas yang dianalisis adalah karbondioksida yang berada dalam bentuk gas yang terkandung dalam air sedangkan kandungan CO2 bebas di udara adalah sebesar 0,03 %. Pemupukan dilakukan untuk meningkatkan produktifitas kolam. Jika terlau banyak akan kurang baik untuk kualitas air kolam.
Hal ini akan menyebabkan penurunan jumlam oksigen terlarut yang akhirnya akan diikuti dengan peningkatan CO2 di kolam.
Menurut Hasibuan et al. (2013), pengaruh penggunaan kombinasi pupuk organik dan anorganik terhadap mutu kualitas kadar CO2 di air kolam menunjukkan peningkatan > 10 ppm dan ini membuktikan terjadi proses mineralisasi yang aktif di tanah dasar kolam. Nilai konsentrasi CO2 bebas di air ini cukup tinggi baik pada kolam kontrol maupun kolam yang diberi pupuk. Konsentrasi tertinggi CO2 bebas adalah 33,96 ppm yakni penggunaan pupuk organik 75% dan anorganik 25%, sementara penurunan penggunaan pupuk organik tidak menjamin nilai CO2 berada < 10 ppm. Jadi penggunaan pupuk organik dan anorganik secara bersamaan dengan presentase yang berbeda dapat mempengaruhi kualitas CO2 di air kolam. Pupuk yang ada akan digunakan untuk menumbuhan plankton sebagai pakan alami ikan baik itu fitoplankton maupun zooplankton. Apabila CO2 terlalu tinggi di perairan dapat menimbulkan keracunan, akan tetapi jika fitoplankton dapat memanfaatkannya dalam kegiatan fotosintesis hal ini tidaklah berbahaya.
2.6.3pH (Ummu)
Setiap organisme perairan mempunyai toleransi terhadap pH perairan yang bersangkutan,walaupun bervariasi dalam tingkat toleransinya. Variasi toleransi organisme terhadap pH dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain suhu, oksigen terlarut, karbondioksida, dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis atau setadia organisme. Tetapi pada urnumnya batas pH toleransi ikan adalah berkisar antara 4,0 : 11,00. Namun untuk idealnya bagi perikanan adalah antara 6,5 - 8,5.  Apabila pH mencapai lebih dari 11,00 maka akan berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Arti dari pH sendiri yaitu derajat asam basa suatu perairan. Apabila nilai semakin rendah maka perairan tersebut asam, sedangkan apabila nilainya tinggi maka perairan tersebut basa (Carmudi, 2013).
PH ukuran konsentrasi ion hidrogen atau aktivitas dari ion hydrogen yang  setiap larutan yang nilainya dapat diukur atau ditentukan. Nilai ini berkisar dari 0-14 pH dengan nilai-nilai di bawah pH 7 menunjukkan kondisi perairan asam. pH 7 adalah pusat dari skala pengukuran Pada kondisi tersebut perairan tidak asam dan tidak basa atau bias disebut juga netral. Skala pH telah mengalami proses standarisasi melalui perjanjian internasional. Dengan menentukan pH perairan, dapat mengetahui aktivitas ion hydrogen dalam perairan tersebut. Sehingga kita bias menentukan perairan tersebut termasuk kategori asam, netral atau basa (Myers, 2012 dalam Ben-chioma et al., 2015).
2.6.4Orthofosfat (Linda)
Tingginya kandungan ortofosfat di dasar perairan disebabkan karena dasar perairan umumnya kaya akan zat hara, baik yang berasal dari dekomposisi sedimen maupun senyawa-senyawa organic yang berasal dari jasad flora dan fauna yang mati. Ortofosfat merupakan nutrien yang hal ini dapat berasal dari buangan limbah organik yang berasal dari drainase-drainase sekitar sehingga bahan organik dalam perairan tinggi namun tidak dapat dimanfaatkan optimal oleh fitoplankton karenanya adanya faktor lain seperti suhu dan cahaya. Hubungan produkifitas primer dengan ortofosfat juga menunjukkan pola kuadratik. Pola kuadratik tersebut mempunyai arti bahwa semakin meningkat ortofosfat maka akan semakin meningkat pula produktivitas primer. Ortofosfat optimum untuk mendukung produktivitas primer adalah 0.168 mg/l.  (Purba et al., 2015).
Menurut Shaleh et al.(2014), stasiun inlet merupakan daerah yang memiliki kandungan ortofosfat dan total fosfor tertinggi hal ini dikarenakan adanya masukan unsur hara dari aktivitas masyarakatsekitar Waduk Sempor dibidang pertanian dan peternakan yang mengandung fosfor dan nitrogen tinggi. Daerah inlet merupakan satu-satunya daerah yang memiliki status kesuburan eutrofik sedang (66,74) dikarenakan tingginya masukan nutrient dari lahan pertanian pemukiman warga. Pengkayaan nutrient secara langsung maupun tidak langsung merubah proses biologi yang memacu peledakan alga. Sedangkan eutrofik sedang terjadinya dominasi alga hijau biru, terjadinya penggumpalan alga dan masalah tanaman air sudah ekstensif. Kesuburan perairan sangan penting, namun akan menjadi sangat berbahaya jika terjadi eutrofikasi. Proses eutrofikasi dapat menyebabkan terjadinya blooming plankton jenis tertentu.
2.6.5Nitrit (Anggraeni septi)
Di perairan alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrit (nitrifikasi), dan antara  nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Dalam prosesnya baik nitrifikasi maupun denitrifikasi membutuhkan bantuan bakteri. Denitrifikasi berlangsung pada kondisi anaerob. Proses anaerob adalah proses reduksi yang tidak membutuhkan oksigen. Pada intinya jumlah nitrit di perairan akan lebih sedikit jika dibandingkan nitrar. (Novotry dan Olem, 1994 dalam Effendi,2003).
Menurut Pujiastuti et al. (2013), nitrit merupakan senyawa nitrogen beracun. Senyawa ini biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Baku mutu air kelas dua dan tiga mensyaratkan maksimal kandungan nitrit adalah 0,06 mg/L. Tingginya kandungan nitrit di perairan diduga berasal dari masukan limbah rumah tangga, pertanian dan limbah LKJ. Kandungan nitrit yang berlebih akan mengakibatkan keracunan pada ikan. Maka kandungan dari nitrit dalam perairan tidak boleh berlebih karena bersifat toksik.
2.6.6Nitrat (iklima)
Nitrat merupakan salah satu nutrien yang diperlukan tumbuhan untuk melakukan kegiatan fotosintesis. Senyawa ini diperlukan oleh fitoplankton untuk melakukan proses fotosintesis. Tetapi kandungan nitrat yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan kualitas perairan. Selain itu kandungan nitrat yang belebihan dapat mengakibatkan proses pertumbuhan ganggang dan alga yang sangat cepat. Dalam perairan kandungan nitrat sangat penting. Akan tetapi jika terlalu banyak akan menimbulkan dominasi jenis ganggang tertentu (eutrofikasi) (Al Faruqi et al., 2015).
Menurut Millero dan Sohn (1992) dalam Saputra et al. (2013), unsur zat hara anorganik utamayang digunakan fitoplankton untuk pertumbuhan dan berkembang biak adalah fosfor (dalam bentuk fosfat) dan nitrogen (dalam bentuk nitrat) sebagai penyusun jaringan fitoplankton. Nitrogen dalam bentuk nitrat di perairan dengan jumlah yang cukup disintesis fitoplankton dalam proses fotokimia dan nantinya akan berpengaruh pada produktivitas primer. Nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang yang tidak terbatas, sehingga air akan mengalami kekurangan oksigen terlarut yang menyebabkan kematian organisme air. Nitrat sangatlah penting bagi kehidupan fitoplankton di laut, sehingga diperlukan kajian tentang sebaran nitrat.Penyebaran nitrat ini dipengaruhi beberapa faktor baik secara lansung dan tidak langsung. Secara langsung penyebaran nitrat dipengaruhi oleh arus pasang surut dan secara tidak langsug dipengaruhi oleh faktor fisika kimia oseanografi, yaitu suhu, salinitas, dan pH.
2.6.7Amonia (Faiza)
Adanya peralihan dari sistem budidaya ikan secara tradisional menuju ke system budidaya ikan secara intensif. Pada budidaya ikan intensif, penggunaan padat penebaran dan dosis pakan yang tinggi, berakibat pada penurunan kualitas air budidaya. Hal ini dipicu oleh tingginya sisa pakan dan sisa metabolisme ikan, yang menghasilkan produk sampingan berupa amonia. Amonia akan memberikan pengaruh negatif terhadap mutu kualitas air suatu perairan. Pada kenyataannya kuantitas dan kualitas suplai air merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan budidaya ikan dari serangan penyakit.  Maka factor utama ini haruslah dijaga untuk menjaga kualitas air.(Samsundari, 2013).
Amonia yang ada di perairan berasal dari sisa metabolisme ikan yang terlarut dalam air. Hal ini meliputi feses ikan, serta dari makanan ikan yang tidak termakan dan mengendap di dasar kolam budidaya. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan konsentrasi amonia meningkat. Faktor tersebut diantaranya membusuknya makanan ikan yang tidak termakan, menurunnya kadar oksigen terlarut pada kolam yang apabila oksigen terlarut berkisar antara 1-5 ppm mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi lambat. Sedangkan oksigen terlarut yang kurang dari 1 ppm dapat bersifat toksik bagi sebagian besar spesies ikan. Jadi kandungan ammonia dalam perairan tidak boleh terlalu tinggi karena akan mempengaruhi oksigen terlarut(Dauhan et al., 2014).
2.6.8 TOM (Total OrganicMatter) (Fafa)
Menurut Rakhman (1999) dalam Nugroho et al. (2014), bahan  organik  terlarut  total  atau  Total  Organik  Matter  (TOM)  menggambarkan  kandungan  bahan organik total suatu perairan yang terdiri dari bahan  organik terlarut, tersuspensi (particulate) dan koloid. Bahan bersifat kompleks dan dinamis berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di dalam  tanah  yang  mengalami  perombakan.  Dekomposisi bahan organik dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain susunan residu, suhu, pH, dan ketersediaan zat hara dan oksigen. Dalam peraturan pemerintah tidak disebutkan berapa standar  nilai  TOM  dalam  perairan.  Namun, nilai  Bahan  Organik  Total perairan  yang  ideal  untuk  budidaya  adalah  berkisar  antara  20  -30  mg/l. Konsentrasi bahan organik baik perairan juga dapat berubah secara cepat yang dipengaruhi oleh ledakan alga, pemangsaan zooplankton, badai dan masukan air tawar.
Menurut Fisesa et al. (2014), pengukuran total organik matter (TOM) pada sedimen bertujuan untuk mengetahui gambaran kandungan bahan organik yang ada diperairan. Jumlah bahan organik yang ada diperairan dapat menentukan tingkat kesuburan perairan itu sendiri. Salah satunya masukan bahan organik tersebut melalui limpasan air hujan (run-off) daratan dan proses pembusukan organisme yang telah mati di dasar perairan. Nilai rata-rata TOM dalam suatu perairan berkisar antara 14,72 - 15,90 %. Tiap perairan memiliki jumla bahan organik terlarut yang berbeda. Hal ini dikarenakan kesuburan dari tiap perairan juga berbeda.
2.6.9Suhu (teti)
            Suhu merupakan derajat panas dingin suatu perairan. Suhu dapat dipengaruhi oleh beberapa factor seperti musim, intensitas cahaya matahari, letak geografis serta kedalaman perairan tersebut. Suhu juga dapat mempengaruhi organism yang hidup didalamnya. Organisme yang hidup dalam perairan akan tergantung dengan suhu yang sesuai dengan organusme tersebut. Jadi tiap organisme memiliki suhu optimum yang berbeda. Suhu optimum untuk pertumbuhan optimal organisme pada perairan tropis berkisar antara 25 - 32°C  (Raymont,1963dalamSari et al, 2014).
Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting di dalam air. Hal ini dikarenakan bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air, densitas air, kejenuhan air, mempercepat reaksi kimia air, dan memengaruhi jumlah oksigen terlarut di dalam air. Suhu tinggi yang masih dapat ditoleransi oleh ikan tidak selalu berakibat mematikan pada ikan. Akan tetapi dapat menyebabkan gangguan status kesehatan untuk jangka panjang. Misalnya stres yang menyebabkan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Suhu penting bagi ikan maka harus dijaga kondisi optimalnya (Irianto, 2005 dalamAlizaet al., 2013).
2.6.10Kecerahan (Dear)
Menurut Sari (2012), kecerahan  perairan  adalah  suatu  kondisi  yang  menunjukkan  kemampuan cahaya  untuk  menembus  lapisan  air  pada  kedalaman  tertentu.  Pada  perairan  alami kecerahan  sangat  penting  karena  erat  kaitannya  dengan  aktifitas  fotosintesa. Kecerahan  merupakan  faktor  penting  bagi  proses  fotosintesa  dan  produksi primer dalam  suatu  perairan. Semakin tinggi nilai kecerahan maka proses fotosintesis berlangsung dengan baik. Selain itu semakin tinggi nilai kecerahan maka semakin  tinggi tingkat masuknya cahaya matahari ke perairan. Faktor yg mempengaruhi kecerahan antara lain partikel tersuspensi, kekeruhan dan waktu pengambilan.
Menurut Mahyuddin (2010), kecerahan adalah perkiraan kemampuan penetrasi cahaya sinar matahari ke dalam perairan. Kecerahan selalu diidentikkan dengan cahaya matahari yang merupakan sumber energi bagi semua jasad hidup di perairan. Tinggi rendahnya kecerahan akan mempengaruhi kegiatan fotosintesis dan produktivitas perairan atau kesuburan perairan. Selain itu kecerahan dapat dipengaruhi oleh partikel-partikel yang melayang dalam air. Semakin kecil partikel tersuspensi maka kecerahan air semakin tinggi. Faktor lain yg mempengaruhi kecerahan antara lain kekeruhan dan waktu pengambilan.
1.6.11    Warna Perairan (Pardina)
Menurut Pujiastuti et al.(2013), warna air mempunyai hubungan dengan kualitas perairan. Warna perairan dipengaruhi oleh adanya padatan terlarut dan padatan tersupensi. Nilai warna perairan ini diduga ada kaitannya  dengan masuknya limbah organik dan anorganik.Warna perairan merupakan suatu hal yang dapat dilihat secara langsung secara visual sesuai dengan kondisi didalam suatu perairan tersebut. Sehingga warna perairan termasuk dalam pengukuran dalam kualitas air. Adanya perbedaan warna perairan menjadikan adannya banyak faktor yang mempengaruhi.
Warna perairan biasanya dikelopokkan menjadi dua, yaitu warna sesungguhnya (true colour) dan warna tampak (apparent colour). Warna sesungguhnya adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut. Pada penentuan warna sesungguhnya, bahan-bahan tersuspensi yang dapat menyebabkan kekeruhan dipisahkan terlebih dahulu. Pada umunya suatu perairan memiliki warna perairan yang berbeda-beda. Adanya perbedaan warna setiap perairan dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi didalamnya. Sehingga adanya substrat, cahaya matahari dan organisme kesil didalamnya akan mempengaruhi warna perairan yang berbeda-beda (Ratnani et al., 2011).
2.6.12 Substrat (Cilia)
Menurut Zulkifli dan Setiawan (2011), tipe substrat dan pH substrat akan sangat mempengaruhi morfologi fungsional dan tingkah laku hewan bentik. Menyatakan bahwa pH dan tipe substrat adalah faktor utama yang mengendalikan distribusi benthos. Adaptasi terhadap substrat akan menentukan morfologi, cara makan, daya tahan, dan adaptasi fisiologis organisme benthos terhadap suhu, salinitas, reaksi enzimatik serta faktor kimia lainnya. Jenis tekstur substrat pada setiap lokas berbeda, sehingga mempengaruhi keberadaan benthos pada suatu perairan. Jenis substrat juga menentukan komposisi maupun kepadatan benthos pada suatu perairan. Tipe substrat bermacam-macam seperti lempung berpasir, lempung liat berpasir, maupun pasir berlempung.
Menurut Odum (1993) dalam Setyamboma et al. 2015, susunan substrat dasar penting bagi organisme yang hidup di zona dasar perairan, substrat dasar merupakan faktor utama yang mempengaruhi kehidupan, perkembangan dan keanekaragaman epifauna. Substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobenthos sehingga mempunyai kepadatan dan keanekaragman yang besar. Kecepatan arus dapat dipengaruhi oleh keberadaan angin dan substrat yang terdapat di dasar perairan. Substrat ini dapat berupa lumpur, pasir, atau batu. Substrat dasar kolam sangat mendukung pertumbuhan plankton dan kondisi kepadatan plankton tidak sama.
2.6.13Plankton
2.6.13.1 PengertianPlankton (rio)
Plankton adalah makhluk (tumbuhan atau hewan) yang hidupnya mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan renangnya (kalaupun ada) sangat terbatas hingga selalu terbawa hanyut oleh arus. Plankton dapat dibagi menjadi beberapa golongan sesuai dengan fungsinya ,daur hidupnya, atau sifat sebarannya. Plankton memiliki perbedaan dengan organisme lain seperti nekton karena tidak bias berenang bebas. Plankton adalah organisme di perairan yang melayang- layang di perairan dan kalaupun bisa bergerak maka pergerakannya sangat terbatas. Plankton di perairan dibedakan menjadi beberapa kelompok berdasarkan sifat hidupnya diantaranya adalah fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton adalah plankton mirip tumbuhan dan zooplankton adalah plankton mirip hewan (Nontji, 2008).
Plankton adalah benda kecil yang melayang di dalam air, baik air laut maupun tawar. Plankton dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu phytoplankton dan zooplankton. Plankton sangatlah penting dalam kehidupan organisme. Phytoplankton adalah golongan tumbuhan berdinding tebal melayang bebas di dalam air. Phytoplankton adalah golongan plankton yang  berperan dalam rantai makanan dalam air laut maupun tawar. Hal inilah yang akan diadaptasikan agar kolam budidaya dapat terdapat plankton sebagai dasar rantai makanan (Kuncoro, 2004).
2.6.13.2 Jenis-jenisPlankton (silfana)
Menurut Odum (1993) dalam Prasetyaningtyas et al. (2012), plankton merupakan organisme mengapung yang pergerakannya tergantung pada arus. Plankton dibagi menjadi dua golongan yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan anggota plankton yang bersifat tumbuhan.Sedangkan  zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani. Untuk fitoplankton terdapat pada massa air yang terkena intensitas cahaya matahari. Fitoplankton sering disebut sebagai produsen primer perairan karena fitoplankton dapat membuat makanan sendiri melalui fotosintesis. Sedangkan untuk zooplankton biasanya disebut sebagai konsumen primer karena zooplankton pemakan fitoplankton.
Menurut Nybakken (1992) dalam Agustini dan Sri (2014), Plankton merupakan organisme yang hidup melayang atau mengapung di dalam air. Kemampuan geraknya kalaupun ada sangat terbatas hingga organisme tersebut selalu terbawa arus. Berdasarkan daur hidupnya, plankton terbagi dalam dua golongan yaitu holoplankton dan meroplankton. Holoplankton merupakan organisme akuatik dimana seluruh hidupnya bersifat sebagai plankton. Sedangka meroplankton adalah organisme akuatik yang hanya sebagian dari daur hidupnya bersifat sebagai plankton dan apabila telah dewasa akan hidup menetap di dasar maupun melekat pada dasar laut. Contoh dari organisme meroplankton adalah kelas Crustacea.
2.6.13.3 Cara dan Rumus Perhitungan Plankton (Hilcham)
Pengukuran jumlah biomassa plankton penting untuk pendugaan stok alami ikan atautrophodinamik plankton. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung apabila plankton berukuran besar dan kasat mata (zooplankton). Sedangkan perhitungan secara tidak langsung merupakan perhitungan plankton yang berukuran kecil (200µm). Menurut Kartamihardja (2007) dalam Asriyana (2012), Biomassa fitoplankton dapat dihitung berdasarkan metode biovolume secara geometric dengan rumus:
BF = (NF x ρV) / VC
Keterangan:
BF       : Biomassa fitoplankton
NF       : Jumlah fitoplankton (sel)
ρ          : Densitas fitoplankton = 1
V         : Volume sel fitoplankton (µm3) dihitung secara geometrika
VC      : Volume air contoh fitoplankton (liter)
VC       : Volume air contohfitoplankton (liter)
menurut Hartoko (2013), pengukuran jumlah plankton pada sample per liter menggunakan rumus APHA, AWWA, dan WPOF:
                                

Keterangan:
N         : Number of plankton per liter
T          : Area of cover glass (mm2)
L          : Area field of view (mm2)
P          : Number of counted plankton
p          : Number of observed field of view
V         : Volume filtered plankton sample (ml)
v          : Volume of plankton samples under the cover glass (ml)
W        : Volume of filtered plankton sample (liter)
2.7     Hubungan Kualitas Air dengan Budidaya Perairan (Desta Inas)
Menurut Afrianto et al. (2015), perubahan  kondisi media budidaya dapat menjadi indikator adanya serangan  tertentu. Hal ini berkaitan dengan kondisi fisik, kimiawi, dan biologis air. Perubahan fisik media budidaya dapat terjadi karena berubahnya suhu, derajat keasaman (pH), kesadahan, kandungan oksigen, atau kekeruhan air. Perubahan fisik dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap serangan penyakit pada ikan pemeliharaan. Sehingga kualitas air perlu diperhatikan dalam  budidaya perairan. Dalam budidaya nilai indikator kualitas air harus berada pada nilai yang optimal. Jika kurang atau lebih dapat mempengaruhi pertumbuhan dan dapat menimbulkan serangan penyakit bagi ikan yang dibudidayakan.
            Menurut Kordi (2013), ikan budi daya yang dipelihara pada perairan yang kualitas airnya tidak memenuhi syarat pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat membahayakan ikan tersebut. Oleh karena itu, selain harus menggunakan air yang kualitasnya sesuai dengan kebutuhan ikan budi daya, juga harus menjaga (menciptakan) kondisi kualitas air yang optimal bagi ikan budi daya di wadah budi daya. Ikan budi daya akan stres bila terjadi perubahan kualitas air seperti H2S atau amonia. Perubahan kualitas air ini membahayakan ikan secara langsung dan membuka peluang perkembangan organisme penyakit. Agar pertumbuhan ikan budi daya tidak terganggu, maka kualitas air harus diperhatikan dan berada pada kondisi yang optimal. Selain itu juga diperlukan adanya pergantian air atau resirkulasi untuk mengurangi jumlah kandungan amonia di dalam air. Perubahan kualitas air yang ekstrem dapat menyebabkan kematian masal bagi ikan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar