MAKALAH
PENGARUH
GAS METAN TERHADAP KEGIATAN BUDIDAYA
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Limnology
Dosen: Prof. Dr. Ir. Arief Prajitno,
MS.
Disusun
Oleh :
Feri Ardianza Saputra (145080507111006)
Desta
Inas Fauziyah (145080507111008)
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA
PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU
KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya yang diberikan, kami mampu
menyelesaikan makalah kami yang berjudul pengaruh
metan bagi perairan yang bertujuan
untuk memenuhi tugas matakuliah limnologi tahun akademik 2015. Kami mengucapkan
rasa terima kasih kami kepada kedua orang tua kami yang telah memberikan doa
dan dukungan untuk lebih giat dalam menuntut ilmu. Tak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada dosen pembimbing matakuliah limnologi yang senantiasa
memberikan ilmu kepada kami, serta teman–teman mahasiswa budidaya perairan
angkatan 2014 yang senantiasa membantu dalam memberikan referensi–referensi
demi kelengkapan makalah ini. Namun, makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan banyak kekurangan didalamnya. Kami berharap kritik dan saran guna menjadi
cambuk agar kami dapat lebih giat untuk belajar dan memperbaiki diri dalam
menulis makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita.
Atas perhatian saudara, kami mengucapkan terimakasih.
Malang, 1 November 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gas
metana (CH4) adalah gas yang terbentuk dari metabolisme jasad renik dalam kondisi
ter-genang (anaerob) di dasar rawa, sawah, lambung manusia atau hewan, dan
dalam tumpukan sampah di TPA. Produksi ikan dan tilapia memimpin kenaikan emisi
gas metan dari sawah di bawah kondisi lapangan, terlepas dari masukan yang
disediakan. Produksi metana dipengaruhi oleh suhu, sehingga dalam isu
pe-manasan global, peningkatan suhu akan memperbesar produksi metana. Sumber
metana umumnya adalah antropogenik, yaitu hasil kegiatan manusia di bidang
per-tanian, peternakan, dan pembakaran bio-massa, berturut-turut memberikan
sum-bangan 21%, 15%, dan 8% emisi dunia. Emisi metana dari lahan pertanian
umum-nya berasal dari sawah (Sutrisno et
al., 2009).
Sumber
gas methan di perairan juga di sebabkan kotoran ternak darat yang terbawa oleh
aliran sungai. Menurut Jayanegara et al 2008, ternak menghasilkan gas metana
(CH4) yang berkontribusi terhadap akumulasi gas rumah kaca di atmosfer yang
berdampak pada pemanasan global. Produksi gas metana dari ternak berkontribusi terhadap 95% dari total emisi
metana yang dihasilkan oleh ternak dan manu-sia, dan sekitar 18% dari total gas
rumah kaca di atmosfer. Emisi metana ini tidak hanya terkait dengan masalah
lingkungan, namun juga merefleksikan hilang-nya sebagian energi dari ternak
sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk proses produksi. Sekitar 6%-10% dari
energi bruto pakan yang dikonsumsi ternak
hilang sebagai metana.
Menurut
Frei et al. (2007), gas methan
berpengaruh terhadap pH dan kadar oksigen yang terlarut dipelihara dalam plot
mina padi. Kedua parameter merupakan level terendah dalam pengobatan di mana
tingkat pemberian makanan yang lebih tinggi yang disediakan. Karena aktivitas
ikan, banjir dalam pengobatan mina padi lebih keruh, sebagaimana tercermin
dalam hal anorganik particulate lebih tinggi (PIOM).
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah yang
dinamakan gas metan.
2.
Darimanakah asal
gas metan.
3.
Bagaimanakah
cara mengetahui keberadaan gas metan.
4.
Bagaimana
pengaruh kegiatan budidaya terhadap keberadaan gas metan.
5.
Bagaimana
pengaruh keberadaan gas metan terhadap kegiatan budidaya.
6.
Bagaimana cara
mengurangi kandungan gas metan.
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Supaya
mengetahui yang dinamakan gas metan.
2.
Supaya
mengetahui asal gas metan.
3.
Supaya
mengetahui cara mengetahui keberadaan gas metan.
4.
Supaya
mengetahui pengaruh kegiatan budidaya terhadap keberadaan gas metan.
5.
Supaya
mengetahui pengaruh keberadaan gas metan terhadap kegiatan budidaya.
6.
Supaya
mengetahui cara mengurangi kandungan gas metan.
2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gas Methan
Menurut Prasetiono dan Triwikantoro (2012), Metana
adalah salah satu komponen gas terbesar dari produksi biogas yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Peningkatan produksi biogas dilakukan salah
satunya dengan memberikan bahan tambahan berupa tetes tebu dan limbah cair tahu
pada kotoran hewan. Kotoran hewan dan bahan tambahan dicampur air dengan
per-bandingan massa 1 : 2, sedangkan perbandingan kotoran hewan dengan bahan
tambahan dibuat secara bervariasi yaitu (90:10):2, (80:20):2 dan (70:30):2.
Kandungan gas metana yang berada di tandon gas dideteksi pada hari ke-7 dan
hari ke-20. Analisis produksi biogas menunjukkan bahwa awalnya penambahan tetes
tebu dan lim-bah cair tahu menaikkan CH4, tetapi semakin besar jumlah tetes
tebu yang ditambahkan semakin turun jumlah CH4 yang dihasilkan, sedangkan penambahan
limbah cair tahu berpengaruh sebaliknya yaitu semakin besar tambahan limbah
tahu, maka semakin besar produksi CH4.
Menurut Thalip et
al. (2010), Gas metana merupakan tipikal gas rumah kaca (GRK) yang diemisi
oleh subsektor peternakan, terutama dari ternak, yakni sebagai hasil kerja
bakteri metanogenik dalam sistem pencernaan hewan. Dalam sistem pencernaan,
senyawa-senyawa organik bahan pakan difermentasi oleh mikroba menghasilkan
asam-asam lemak mudah terbang (volatile fatty acids, VFA), karbon dioksida
(CO2), hidrogen (H2) dan ammonia (NH3). Melalui proses metanogenesis oleh adanya
bakteri metanogenik, CO2 direduksi dengan H2membentuk CH4, dan gas metana yang
terbentuk ini keluar melalui eruktasi (sekitar 83%), pernapasan (sekitar 16%)
dan anus (sekitar 1%). Kontribusi emisi GRK subsektor peternakan secara
nasional hanya sekitar 1,2% (KP3I, 2008: tidak diterbitkan), namun secara
global aktivitas peternakanmemberikan kontribusi sebesar 12% dari emisi total
dunia. Dibandingkan dengan era praindustri (sekitar tahun 1750), konsentrasi
GRK saat ini mengalami peningkatan secara tajam,yakni masing-masing mengalami
kenaikan konsentrasi untuk CO2sebesar 34%, CH4sebesar 152% dan N2O sebesar 18%
dan terlihat bahwa CH4 mengalami peningkatan konsentrasi yang tertinggi.
Diprediksi bahwa pemanasan global menyebabkan temperatur rata-rata dunia akan naik
antara 1,8 – 4,0°C pada tahun 2100. Dalam jumlah mol yang sama, gas metana
mempunyai efek rumah kaca yang lebih besar dibandingkan dengan gas CO2karena
daya menangkap panas CH4: 25 x CO2. Berbagai teknologi untuk menurunkan
produksi gas metana enterik telah banyak dilakukan, antara lain dengan
pendekatan manajemen pemberian pakan, manajemen penggunaan bahan pakan (rumput
budidaya, leguminosa, konsentrat, hasil samping pertanian/perkebunan yang dapat
dijadikan sumber protein dan energi) dan pemberian feed additive.
Gas
metana (CH4) adalah gas yang terbentuk dari metabolisme jasad renik dalam
kondisi ter-genang (anaerob) di dasar rawa, sawah, lambung manusia atau hewan,
dan dalam tumpukan sampah di TPA. Gas metana juga dihasilkan dari pembakaran
biomassa/bahan organik dan terdapat dalam tam-bang batu bara. Produksi metana
dipengaruhi oleh suhu, sehingga dalam isu pe-manasan global, peningkatan suhu
akan memperbesar produksi metana. Sumber metana umumnya adalah antropogenik,
yaitu hasil kegiatan manusia di bidang per-tanian, peternakan, dan pembakaran
bio-massa, berturut-turut memberikan sum-bangan 21%, 15%, dan 8% emisi dunia.
Emisi metana dari lahan pertanian umum-nya berasal dari sawah (Sutrisno et al., 2009).
2.2 Sumber Gas Methan
Sumber
gas methan di perairan juga di sebabkan kotoran ternak darat yang terbawa oleh
aliran sungai. Menurut Jayanegara et al 2008, ternak menghasilkan gas metana
(CH4) yang berkontribusi terhadap akumulasi gas rumah kaca di atmosfer yang
berdampak pada pemanasan global. Produksi gas metana dari ternak berkontribusi terhadap 95% dari total emisi
metana yang dihasilkan oleh ternak dan manusia, dan sekitar 18% dari total gas
rumah kaca di atmosfer. Emisi metana ini tidak hanya terkait dengan masalah
lingkungan, namun juga merefleksikan hilang-nya sebagian energi dari ternak
sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk proses produksi. Sekitar 6%-10% dari
energi bruto pakan yang dikonsumsi ternak hilang
sebagai metana.
Menurut
Fatoni et al.(2012), Ulva lactuva dan Laminaria
adalah jenis rumput laut yang terbukti menghasilkan biogas dalam skala yang
besar di negara Jepang. Gas metana yang dihasilkan adalah sebanyak 17m3/ton
yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik. Di Indonesia pembuatan biogas
dari rumput laut telah dilakukan oleh Saputra (2010), dengan menggunakan rumput
laut jenis Sargassumduplicatum dan caulerpa
raemosa. Kedua jenis rumput laut ini dapat menghasilkan gas metana yang
bermanfaat sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak. Rumput laut Eucheuma cottonii 5 Kg dapat
menghasilkan biogas dengan tekanan 14,90 Psi pada hari ke 24 dan hasil
karakterisasi yang terdapat dalam proses pembuatan biogas dari rumput laut Eucheuma cottonii.
Metana
(CH4) terbentuk dari meta-bolisme jasad renik dalam kondisi ter-genang
(anaerob) di dasar rawa, sawah, lambung manusia atau hewan, dan dalam tumpukan
sampah di TPA. Gas metana juga dihasilkan dari pembakaran biomassa/bahan
organik dan terdapat dalam tam-bang batu bara. Produksi metana dipe-ngaruhi
oleh suhu, sehingga dalam isu pe-manasan global, peningkatan suhu akan
memperbesar produksi metana. Sumber metana umumnya adalah antropogenik, yaitu
hasil kegiatan manusia di bidang per-tanian, peternakan, dan pembakaran
bio-massa, berturut-turut memberikan sum-bangan 21%, 15%, dan 8% emisi dunia.
Emisi metana dari lahan pertanian umum-nya berasal dari sawah (Sutrisno et al., 2009).
2.3 Cara mengetahui kandungan gas methan
Kandungan gas metana diukur meng-gunakan infrared
methane analyzer (Pronova Analysentechnik GmbH & Co. KG, Berlin, Germany)
yang dikalibrasi dengan gas metana murni berkadar 10,6%. Setelah dilakukan
pengamatan terhadap vo-lume gas total, saluran keluar dari tabung in
vitrodimasukkan ke dalam saluran masuk dari methane analyzer. Data yang
diperoleh adalah berupa persentase kandungan metana dalam kandungan gas total
(Jayanegara, 2008).
2.4 Pengaruh Kegiatan Budidaya terhadap Kebaradaan Gas Methan
Menurut Frei et al. (2007), Produksi ikan dan tilapia
memimpin kenaikan emisi gas metan dari sawah di bawah kondisi lapangan,
terlepas dari masukan yang disediakan. Mekanisme dua dapat diajukan untuk
menjelaskan efek ini:
(1)
penurunan tingkat oksigen terlarut, karena adanya ikan dan (2) tindakan mekanis
ikan menuju pelepasan dijebak tanah metana. Kemunduran lingkungan ini harus
ditimbang berbagai keuntungan yang disediakan oleh produksi terpadu.
Pengendalian gulma dan serangga, saling melengkapi penggunaan sumber-sumber
gizi yang ditingkatkan, efisiensi, dan ketiadaan pestisida kimia telah
disebutkan sebagai manfaat ekologi menghasilkan ikan di sawah. Selain itu,
keuntungan ekonomi bagi para petani dan kontribusi untuk ketahanan pangan di
daerah pedesaan di negara-negara berkembang, perlu dipertimbangkan.
Sedikit yang diketahui
tentang akibat ikan pada emisi gas rumah kaca dari sistem mina padi terpadu.
Percobaan yang dilakukan di Bangladesh Universitas Pertanian untuk menilai
pengaruh sarung ikan pada metana emisi dari sawah. Ikan, Cyprinus umum carpio
L., dan sungai Nil, Oreochromis Tilapia niloticus (L.) telah dilengkapi dalam
sebuah budaya campuran dan diperlakukan dengan tiga rezim input yang berbeda:
(1) urea pembuahan menurut rekomendasi dari Bangladesh Beras Research Institute
(BRRI), (2) pemberian makanan tambahan pada 2 _ tingkat
pemeliharaan dan (3) jadwal pemberian makanan yang ditinggikan di mana 4 _ tingkat
pemeliharaan pada awalnya the fed dan 2 tingkat pemeliharaan pada akhir periode pertumbuhan.
Hanya sawah dengan urea pembuahan menurut BRRI-rekomendasi ini disertakan
sebagai kontrol. Kehadiran meningkat emisi gas metana ikan dalam semua tiga
pengobatan mina padi. Emisi rata-rata selama musim tumpang sari 34, 37, dan 32
mg m_2 h_1 dalam
pengobatan nina padi, masing-masing, dan 20 mg m_2 h_1 dalam
hanya sawah. Selain dari peningkatan metana, penurunan yang signifikan emisi (
p < 0,05) dalam banjir pH dan kadar oksigen yang terlarut
dipelihara dalam plot mina padi (Frei et
al., 2007).
2.5 Pengaruh Gas Methan terhadap Kegiatan Budidaya
Menurut Thalip et
al. (2010), Rendahnya kualitas
hijauan pakan disebabkan karena kandungan energi dan nitrogen rendah dan
kandungan serat tinggi. Pakan berserat tinggi tidak saja menurunkan efisiensi
penggunaan pakan tapi juga meningkatkan produksi gas metana. Gas metana
merupakan tipikal gas rumah kaca (GRK) yang diemisi oleh sub-sektor peternakan,
terutama dari ternak , yakni sebagai
hasil kerja bakteri metanogenik dalam sistem pencernaan hewan. Dalam sistem
pencernaan, senyawa-senyawa organik bahan pakan difermentasi oleh mikroba
menghasilkan asam-asam lemak mudah terbang (volatile fatty acids, VFA), karbon
dioksida (CO2), hidrogen (H2) dan ammonia (NH3). Melalui proses metanogenesis
oleh adanya bakteri metanogenik, CO2 direduksi dengan H2membentuk CH4, dan gas
metana yang terbentuk ini keluar melalui eruktasi (sekitar 83%), pernapasan
(sekitar 16%) dan anus (sekitar 1%). Kontribusi emisi GRK subsektor peternakan
secara nasional hanya sekitar 1,2% (KP3I, 2008: tidak diterbitkan), namun
secara global aktivitas peternakanmemberikan kontribusi sebesar 12% dari emisi
total dunia. Dibandingkan dengan era praindustri (sekitar tahun 1750),
konsentrasi GRK saat ini mengalami peningkatan secara tajam,yakni masing-masing
mengalami kenaikan konsentrasi untuk CO2sebesar 34%, CH4sebesar 152% dan N2O
sebesar 18% dan terlihat bahwa CH4 mengalami peningkatan konsentrasi yang
tertinggi. Diprediksi bahwa pemanasan global menyebabkan temperatur rata-rata
dunia akan naik antara 1,8 – 4,0°C pada tahun 2100. Dalam jumlah mol yang sama,
gas metana mempunyai efek rumah kaca yang lebih besar dibandingkan dengan gas
CO2karena daya menangkap panas CH4: 25 x CO2. Berbagai teknologi untuk
menurunkan produksi gas metana enterik telah banyak dilakukan, antara lain
dengan pendekatan manajemen pemberian pakan, manajemen penggunaan bahan pakan
(rumput budidaya, leguminosa, konsentrat, hasil samping pertanian/perkebunan
yang dapat dijadikan sumber protein dan energi) dan pemberian feed additive.
Kehadiran ikan
kemungkinan dampak pada berbagai langkah-langkah proses emisi gas metan dari.
Sebelumnya ianya diandaikan bahawa ikan mungkin aerate tanah sawah oleh
burrowing ke dalam tanah mencari makan. Hal ini akan dikaitkan dengan
kenaikan dalam potensi redox, lebih tinggi dari internet, dan akhirnya
oksidasi methan emisi lebih rendah. Sebaliknya, kita diukur meningkatkan emisi
gas metana di hadapan ikan dalam percobaan rumah kaca. Dalam percobaan yang,
dorongan metana emisi yang diterangkan dengan penurunan bahwa air makin
oksigen yang terlarut (berbuat), dan tindakan mekanik tingkat ikan, yang
menyebabkan pelepasan metana terperangkap di dalam tanah. (Frei et al., 2007).
Masih menurut Frei et al. (2007), Selain itu gas methan
juga berpengaruh terhadap pH dan kadar oksigen yang terlarut dipelihara dalam
plot mina padi. Kedua parameter merupakan level terendah dalam pengobatan di
mana tingkat pemberian makanan yang lebih tinggi yang disediakan. Karena
aktivitas ikan, banjir dalam pengobatan mina padi lebih keruh, sebagaimana
tercermin dalam hal anorganik particulate lebih tinggi (PIOM). Tingkat yang
ditinggikan membubarkan metana dipelihara dalam banjir dari nasi ditambah- ikan
umpan makar. Emisi gas metana menunjukkan korelasi negatif dengan pagi dan sore
pH bahwa air makin (R = _0,46;
r = _0.56,
p < 0,001 inci) dan pagi dan sore tingkat oksigen yang terlarut (R
= _0.53; r = _0,46,
p < 0,001 inci). Correlations positif tercatat antara pagi dan
sore bahwa air makin (R = 0.49 suhu; r = 0.44, p < 0,001 inci) dan
dengan suhu udara (R = 0,54, p < 0,001 inci). Hasil menyarankan
bahwa sarung ikan memiliki efek meningkat pada metana emisi dari sawah.
2.6 Cara Mengurangi Kandungan gas metana
Berbagai upaya telah dilakukan dalam
mengurangi emisi metana seperti suplementasi konsentrat, lipid, asam
organik minyak atsiri, serta probiotik dan prebiotik, baik in vitro, maupun in
vivo. Senyawa antibiotik seperti monensin dan lasalosid juga telah digunakan
untuk me-nurunkan produksi metana. Namun demikian penggunaan antibiotik telah
dilarang di Uni Eropa sejak 2006 dan negara-negara di luar Uni Eropa pun sedang
mempertimbangkan untuk melarang penggu-naan antibiotik. Kondisi tersebut
membuat para ilmuwan mulai mengintensifkan penelitian pada senyawa-senyawa
alami yang terdapat pada tanaman sebagai zat aditif pakan untuk meningkatkan
produktivitas ternak, termasuk dalam menurunkan pro-duksi metana. Tanin atau
polifenol merupakan salah satu senyawa yang berpotensi menurunkan emisi metana
di antara senyawa-senyawa alami yang terdapat pada tanaman (Jayanegara et al.,
2008).
Fraksi senyawa polifenol yang secara nyata menurunkan
produksi gas metana adalah total fenol (yang terdiri atas senyawa fenol tanin
dan senyawa fenol bukan tanin) dan total tanin, sedangkan tanin terkondensasi
tidak terbukti menurunkan metana melalui koefisien korelasi pada penelitian
ini. Data ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Jayanegara
et al. (2008), bahwa total fenol, total tanin dan tanin bioassay (persen-tase
meningkatnya produksi gas ketika tanin diinaktivasi dengan polietilen glikol,
PEG) menurunkan produksi metana sedangkan tanin terkondensasi tidak. Berlawanan
dengan hasil ini, tanin terkondensasi secara signifikan dapat menurunkan emisi
metana Puchala et al. (2005) dan
Animut et al. (2008) dalam Jayanegara et al. (2008), Berdasarkan hal tersebut efek tanin terkondensasi
terhadap pro-duksi metana masih belum konsisten, apakah dapat menurunkan atau
tidak. Hal ini sangat bergantung pada tanaman sumber tanin terkon-densasi
tersebut, karena struktur senyawa tanin terkondensasi sangat bervariasi antara
satu tanaman dengan tanaman lainnya.
3.PENUTUP
3.1 Kesimpulan
·
Gas metana (CH4) adalah gas yang
terbentuk dari metabolisme jasad renik dalam kondisi ter-genang (anaerob) di
dasar rawa, sawah, lambung manusia atau hewan, dan dalam tumpukan sampah di
TPA.
·
Metana (CH4) terbentuk dari meta-bolisme
jasad renik dalam kondisi ter-genang (anaerob) di dasar rawa, sawah, lambung
manusia atau hewan, dan dalam tumpukan sampah di TPA. Gas metana juga
dihasilkan dari pembakaran biomassa/bahan organik dan terdapat dalam tam-bang
batu bara.
·
Kandungan gas
metana diukur meng-gunakan infrared methane analyzer (Pronova Analysentechnik
GmbH & Co. KG, Berlin, Germany) yang dikalibrasi dengan gas metana murni
berkadar 10,6%. Setelah dilakukan pengamatan terhadap vo-lume gas total,
saluran keluar dari tabung in vitrodimasukkan ke dalam saluran masuk dari
methane analyzer. Data yang diperoleh adalah berupa persentase kandungan metana
dalam kandungan gas total.
·
Produksi ikan dan tilapia memimpin
kenaikan emisi gas metan dari sawah di bawah kondisi lapangan, terlepas dari
masukan yang disediakan.
·
gas methan juga berpengaruh terhadap pH
dan kadar oksigen yang terlarut dipelihara dalam plot mina padi. Kedua
parameter merupakan level terendah dalam pengobatan di mana tingkat pemberian
makanan yang lebih tinggi yang disediakan.
·
Berbagai upaya
telah dilakukan dalam mengurangi emisi metana
seperti suplementasi konsentrat, lipid, asam organik minyak atsiri,
serta probiotik dan prebiotik, baik in vitro, maupun in vivo. Senyawa
antibiotik seperti monensin dan lasalosid juga telah digunakan untuk
me-nurunkan produksi metana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar